Petir terjadi jika ion-ion negatif yang berada di dalam awan petir, mengenai dan berinteraksi dengan ion-ion positif yang terdapat di ujung-ujung bangunan, di gedung tinggi di permukaan bumi. Jika interaksi itu terjadi, maka terjadilah sambaran petir! Dan sambaran petir ini dapat menimbulkan kerusakan dan kebakaran, bahkan kematian.
Untuk menangkal petir atau mengeliminasi dampaknya yang merusak, maka dibuatlah alat penangkal petir. Teknologi penangkal petir yang konvensional adalah dengan cara menangkap sambaran petir, dengan antena petir yang ditempatkan pada ketinggian tertentu. Selanjutnya mengalirkan arus listrik petir yang telah ditangkap antena itu ke dalam tanah (grounding), melalui kabel khusus. Dengan cara begitu, sambaran petir dapat diteruskan langsung masuk ke dalam tanah, sehingga tidak menimbulkan dampak kerusakan terhadap materi yang terkena sambaran petir tersebut.

Selain dari yang penagkal petir yang konvensional tersebut, ada juga alat penangkal petir dengan teknologi terbaru yang disebut Plasma Lightning Rejection (PLR). Cara bekerja alat ini adalah : ketika petir menyambar, antenna PLR mengeluarkan ion-ion positif dan “menangkap” ion-ion negatif yang berada dalam awan petir. Akibatnya, aliran ion-ion petir itu tidak jadi terus ke permukaaan bumi, tetapi tertangkap oleh ion-ion yang diproduksi PLR, lalu ion-ion itu kembali ke awan sumbernya. Dan di dalam awan tersebut, terjadilah internal lightning.
Begitulah bagaimana peralatan penangkal petir bekerja. Pada intinya kedua jenis peralatan baik yang konvensional maupun PLR itu mampu menangkal atau mengeliminasi dampak dari kerusakan sambaran petir.
Analogi dengan cara bekerjanya peralatan penangkal petir itu, sebenarnya banyak para Aulia, Kyai, Pendeta, Pedanda dan para ahli ibadah, yang bekerja dan menjalankan fungsinya seperti antenna penangkal petir ini.
Para ahli ibadah itu melepaskan ion-ion positif dalam bentuk doa, dzikir, wirid dan menangkap ion-ion negatif yang berada di dalam petir (baca:musibah). Akibatnya petir atau musibah itu menjadi tertahan, dan tidak jadi terus ke bumi dan membuat kerusakan, bahkan kemudian musibah itu kembali ke sumbernya, Allah Swt. Jadi, atas doa para aulia musibah itu kembali kepada pembuat-NYA. Dan kerusakan di bumi tidak terjadi atau tertunda.
Atau jika para ahli ibadah itu menggunakan cara lama, maka petir (baca: musibah) itu dengan kekuatan doa, dzikir dan wirid itu dapat diteruskan masuk ke dalam tanah, berarti tidak menimbulkan kerusakan.
Pada kenyataannya, orang-orang tidak banyak yang mempedulikan para aulia itu. Mereka seperti tiang antenna yang tampaknya tidak banyak bekerja, dan tampak tidak berbuat apa-apa. Mereka terlihat hanya diam, bekerja dalam senyap dan tidak terlihat secara kasat mata. Padahal perannya sungguh luar biasa, dalam menahan musibah atau mengeliminasi kerusakan akibat dari musibah tersebut. Kerusakan itu bisa saja terjadi di lingkungan masyarakat dan juga di dalam negara.

Kedamaian dan keselamatan di suatu masyarakat, bahkan di sebuah negara kadangkala tidak semata-mata karena hasil pemerintah dan segenap aparat yang mengawakinya. Allah mengasihi para aulia-NYA yang berada di dalam masyarakat atau negara. Jika semestinya ada suatu bala yang akan ditimpakan pada suatu kaum, tetapi sebab keberadaan seorang atau dua orang waliullah, maka bala atau musibah itu tidak jadi ditimpakan kepada ummat-NYA. Kekuatan doa, dzikir dan wirid dari para aulia, telah mampu “menawar” agar musibah tidak jadi ditimpakan, kepada hamba-NYA.
Akhirnya, semoga Allah Swt selalu melindungi, memberi pencerahan dan meridhai para aulia-NYA, sehingga mereka tetapi konsisten dan istiqamah melakukan fungsinya sebagai “penangkal petir” bagi masyarakat, bangsa dan negara Indonesia. Aamiin.
Kemayoran, 29 Agustus 2022
Ki Pandan Alas