FIR Kembali ke Indonesia

Pusat Studi Air Power Indonesia, bersama dengan Jakarta Defense Studies dan The Indonesian Centre for Air and Space Law (ICASL) Universitas Pajajaran, mengadakan Webinar membahas mengenai FIR Jakarta. Webinar dengan judul “Kupas Tuntas FIR Singapura” membahas pernyataan resmi pemerintah pada taggal 25 Januari 2022 yang menyatakan bahwa Indonesia telah berhasil mengambil alih FIR dari Singapura dan wilayahnya menjadi FIR Jakarta. Webinar ini diikuti lebih dari 1000 peserta, banyakanya peserta dapat dimaklumi, karena yang dibahas adalah mengenai yang menjadi trending topic di media sosial.

Ada lima pembicara kunci pada Webinar tersebut, masing-masing adalah : Marsekal (Purn.) Chappy Hakim (KSAU 2002-2005), Novie Riyanto Rahardjo, Direktur Jederal Perhubungan Udara, Prof. Hikmahanto Juwana, SH, LL.M, PhD. Guru Besar Hukum Internasional FHUI, Muhammad Khatim Direktur Operasi Airnav Indonesia dan Prof. Atip Latipulhayat, SH, LL.M, PhD. Guru Besar Bidang Hukum Internasional FH Uniersitas Pajajaran.

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi sebagai key note speaker memberikan pengantar Webinar dengan mengatakan, bahwa perjalanan panjang telah diusahakan dan didiskusikan untuk sampai pada kesepakatan ini. Indonesia sebagai negara tidak dapat hanya berpijak kepada hal-hal teknis semata-mata, mesti mempertimbagknan beberapa hal-hal strategis, dan juga hal-hal yang bersifat politis. Beliau mengucapkan terimakasih atas semua saran dan masukan yang sudah disampaikan. Dan berharap setelah ini diharapkan akan diperoleh kesepakatan yang bermanfaat bagi semua pihak.

Menurut beliau, ada beberapa manfaat yang diperoleh antara lain adalah :

  1. Pengukuhan internasional, terkait dengan kedudukan Indonesia sebagai negara kepulauan dan ruang udara di dalam FIR Jakarta bertambah seluas 249.575 KM2.
  2. Dukungan operasional dan keamanan pada kegiatan pesawat udara negara (TNI, Polri, KKP dan Bea Cukai) lebih maksiml.
  3. Kerjasama sipil-militer di air traffic management (Civil-Military Aviation Cooperation) Indonesia dan Singapura serta penempatan personil di Singapore ATC Centre.
  4. Indonesia memiliki kendali pada delegasi layanan, melalui evaluasi operasional.
  5. Peningkatan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) berupa pungutan jasa pelayanan navigasi penerbangan.

Chappy Hakim (KSAU 2002-2005)

Chappy Hakim membuka webinar dengan mengatakan bahwa masalah FIR adalah masalah yang pelik . Banyak hal yang saling berkaitan, misalnya : aviation, international discipline, inter-department, kedaulatan negara, national dignity, air and space dan juga masa depan manusia.

Batas FIR juga adalah batas negara, didalamya berarti adalah kedaulatan negara. Kedaulatan adalah martabat bangsa. Sayangnya, masalah ini  belum  clear sampai sekarang. Belum lagi mengenai Defense Cooperation Agreement (DCA), Military Training Area (MTA) dan Danger Area, ini membutuhkan penjelasan yang lebih akurat. Masalah airspace adalah masa depan ummat manusia. Jika ada bagian dari ruang udara yang didelegasikan kepada negara lain, artinya mendelegasikan sub system dari defense system kita. Ini sungguh membuat prihatin.

Bahwa FIR sudah memiliki landasan yang menjadi patokan : Chicago Convention 1944 yang menyatakan bahwa air sovereignity adalah bersifat complete and exclusive. Wilayah FIR ini telah didelegasikan sejak tahun tahun 1946. Dan berdasarkan UU No.1 Tahun 2009, bahwa 15 tahun setelah diundangkan, maka pendelegasikan harus diakhiri. Berarti itu akan terjadi pada tahun 2024. Presiden telah memerintahkan pada tahun 2015 agar mengambil alih masalah FIR ini dalam waktu 3-4 tahun, tetapi belum juga dapat terlaksana. Sampai ada pengumuman resmi tanggal 25 Januari 2022 yang lalu itu.

Masalah FIR telah menjadi polemik, karena belum ada penjelasan yang clear, apalagi ini adalah mencakup kedaulatan negara. Walaupun masih berproses, seyogyanya kita bersama harus saling menjaga agar polemik ini tidak menjadi liar. Mesti diselesaikan dengan elegan, dengan otak dan bukan dengan otot. Fokusnya adalah menjaga wilayah ruang udara, yang menjadi bagian integral dari national dignity and sovereignity.

Novie Riyanto Rahardjo

Dirjen Perhubungan Udara mengatakan bahwa proses diskusi pengambil-alihan FIR dari Singapura ini, berlangsung ketat dan alot. Lebih 40 kali  pertemuan, membahas berbagai macam hal, mengenai FIR, Sektor A, Military Training Area, Menempatkan ATC di Singapore Air Traffic Control Centre. Semua itu tertuang dengan detil dalam Letter of Operational & Coordination Agreement (LOCA). Akhirnya materinya disepakati. Kemudian menjadi bagian dari materi yang ditandatangani Presiden Jokowi dan PM Singapura, pada tanggal 25 Januari 2022 yang lalu, di Bintan.

Pendelegasian Pelayanan

Untuk menghindari fragmentasi dalam pelayanan udara, maka sebagian masih didelegasikan kepada Singapura. Pendelegasian Layanan dengan mempertimbangkan ICAO Annex 11 Article 2.1.1: …by mutual agreement, a State may delegate to another State the responsibility for establishing and providing air traffic services in FIR, CTA or CTZ over territories of the former.

Note: If one State delegates to another State the responsibility for the provision of air traffic services over its territory, it does so without derogation of its national sovereignty.

Selain itu juga memperhatikan hal-hal, antara lain:

  1. Keselamatan/menghindari fragmentasi/segmentasi layanan
  2. Teknis Operasional/pengaturan inbound/outbound flow traffic (jalur penerbangan dan efisiensi pergerakan).
  3. Kepatuhan standard ICAO (Annex 11 dan Resolusi ICAO Assembly ke 40)

Dalam proses itu, juga dengan memperhatikan dan mengacu pada pasal 263 – UU N0. 1 tahun 2009, tentang Penerbangan :

  1. Struktur jalur penerbangan
  2. Arus lalu lintas penerbangan
  3. Efisiensi pergerakan pesawat udara

Manfaat FIR Agreement 2022:

  1. Perwujudan amanah UU No. 1 Th 2009, yang diperjuangkan sejak lama
  2. Seluruh ruang udara diatas territorial Indonesia (diatas Kepri dan Natuna) masuk ke dalam FIR Jakarta) dan FIR Jakarta bertambah seluas 249.575 Km2.
  3. Pengukuhan pengakuan Internasional terkait kedudukan Indonesia sebagai negara kepulauan.
  4. Dukungan operasional dan keamanan pada kegiatan Pesawat Udara Negara (TNI, Polri, Bea Cukai) lebih maksimal.
  5. Kerjasama Sipil-Militer (CMAC) Indonesia & Singapura dan penempatan personil di SATCC.
  6. Indonesia memiliki kewenangan melakukan evaluasi operasional, pada layanan yang didelegasikan.
  7. Peningkatan Potensi Pendapatan Negara (Biaya PJNP).

Prof. Hikmahanto Juwana, SH, LL.M, PhD.

Guru besar FHUI ini mengatakan ada perbedaan dalam pembahasan mengenai FIR ini. Singapura menitik-beratkan kepada keselamatan, sedangkan Indonesia kepada kedaulatan. Padahal hal itu semata-mata bukan hanya FIR saja, karena ada banyak industri yang menjadi ikutannya.

Dalam penjelasannya beliau mengkritisi beberapa hal, yang berkaitan dengan Pengambil-alihan FIR.

Prosedur jika Indonesia meminta prioritas dalam Perjanjian FIR 1995, terdapat pada Article 5  NOTIFICATION:

“When the government if the Republic Indonesia intends to carry out activities such as relief operations and military excercises which would affect users within the airpsace delegated to SIngapore, The Directorate General of Air Communication, Indonesia shall inform The Cicil Aviation Athority of Singapore of such activities in accordance with ICAO rules. The Civil Aviation Authority of Singapore shall notify the international civil aviation community of the activities in accordance with ICAO rules.

Tantangan bagi Indonesia antara lain adalah :

  1. Apakah setelah sejak mereka hingga hari ini, Indonesia tidak mampu mengelola FIR diatas Kepulauan Riau?
  2. Apakah sampai hari ini Indonesia masih disamakan dengan Timor Leste yang pengelolaan FIR-nya dilakukan Indonesia?
  3. Apakah dalam 25 tahun ke depan Indonesia masih harus mendelegasikan kepada Singapura, bahkan masih diperpanjang?
  4. Apakah Indonesia tidak mungkin mengelola FIR diatas Kepulauan Riau, bahkan mengelola FIR yang dikelola Singapura selama ini, dimana Singapura yang mendelegasikan kepada Indonesia?

Prof. Hikmahanto mengingatkan agar lebih berhati-hati dengan kata dan kalimat hukum, sebab merupakan kata atau kalimat yang memiliki potensi untuk dibawa ke lembaga penyelesaian sengketa. Beliau juga mempertanyakan siapa yang meminta Perjanjian FIR ditandemkan dengan Perjanjian Pertahanan? Apakah Singapura meminta agar pertukaran dokumen ratifikasi Perjanjian FIR dilakukan bersamaan dengan Perjanjian Pertahanan?

Pada akhir paparannya, beliau mengatakan bahwa semua yang didiskusikan adalah bukan untuk melawan pemerintah, atau melawan satu sama lain, tetapi bagaimana memperkuat posisi pemerintah untuk menjaga kepentingan nasional, ketika berhadapan dengan Singapura. Dan kemudian, ini perlu ditindak-lanjuti dengan pembicaraan terbatas, mengenai langkah strategis selanjutnya.

Muhammad Khatim

Muhammad Khatim Direktur Operasi Airnav Indonesia, pada prinsipnya mengatakan bahwa Airnav Indonesia siap untuk mengambil laih, mengoperasikan dan mengelola lalu lintas udara diatas Natuna dan sekitarnya. Personil dan peralatan sudah memadai untuk melakukan pengendalian lalu lintas udara di kawasan tersebut.

Dia menyatakan beberapa manfaat yang diperoleh Airnav dengan pengambil-alihan FIR tersebut, antara lain adalah :

Banyak hal yang sudah disepakati bersama yang tertuang dengan rinci dalam Letter of Cooperation Agreement (LOCA), Civil Military Air Traffic Management Cooperation (CMATMC).

Prof. Atip Latipulhayat, PhD.

Sebenarnya yang terjadi adalah masalah komunikasi. Narasi elit dan publik berbeda. Para elit gagal mengkomunikasikan dengan baik, masalah pengambil-alihan FIR ini, sehingga menimbulkan polemik yang menghebohkan.

Bertambahnya ruang udara sebenarnya juga berkaitan dengan hak dan wewenang untuk mengatur, menggunakan, mengelola, to regulate, to use, to govern. Jika masih juga didelegasikan (lagi), maka apa alasannya mendelegasikannya itu?

Perbedaan dalam cara negosiasi adalah Singapura menggunakan ideologi sedangkan Indonesia, tanpa ideologi. Mestinya kita belajar cerdik dari Singapura. Dalam praktek FIR dibagi berdasarkan kedaulatan. Tetapi ada yang mengartikan bahwa itu tidak langsung berkaitan dengan kedaulatan.

Sesuai pasal 458 UU No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, bahwa dalam 15 tahun pelayanan navigasi penerbangan yang didelegasikan kepada negara lain, harus sudah diambil-alih. Berarti tahun 2024 nanti FIR harus kembali ke RI sepenuhnya.

Menurut Prof. Atip adalah suatu kekeliruan melepaskan kedulatan tanpa ideologi. Dan yang disayangkan juga, tidak pernah ada evaluasi selama 5 tahun. Padahal semestinya ada evaluasi pegelolaan FIR  yang sudah dikerjakan selama ini.

Prof. Tirtanugraha N. Mursitama, PhD

Sementara itu pada Webinar tanggal 13 Februari 2022, Guru Besar Universitas Bina Nusantara Prof. Tirtanugraha N. Mursitama, PhD, melihat FIR ini dari sisi lain. Beliau adalah pakar bisnis internasional dan hubungan internasional. Dan beliau mengajak kita untuk masalah FIR ini, agar dapat melihat dari perspektif lain, yaitu dari 3 hal :

  1. Bagaimana kita akan melihat FIR ini? Apakah dari sisi hukum, atau dari sisi diplomasi, bisnis dan politik internasional. Masih ada peluang jika mau mengembangkan perspektif kita dalam menyikapi FIR ini.
  2. Bagaimana kita memaknai hubungan dengan Singapura? Apakah akan menggunakan Love & Hate Relationship. Sebab tanpa hubungan multi lateral tidak akan ada hubungan bilateral. Pasti ada spill over dari hubungan dengan Singapura, yang dapat dimanfaatkan sepenuhnya.
  3. Bagaimana persepsi dan perispan kita, jika seandainya pada suatu saat nanti terjadi integrasi ASEAN. Masing-masing negara memiliki kelebihan, dan kelemahannya sendiri-sendiri. Jika disinergikan pasti akan mendatangkan manfaat yang berlipat.

Selanjutnya, apakah dua negara ini dapat menjadikan masalah ini menjadi perekat untuk bersama-sama berkembang? Apakah opportunity yang kita dapatkan dan bagaimana menutupi weakness yang kita miliki? Marilah berterimakasih kepada para diplomat yang telah berjuang keras dan luar biasa. Walaupun masih tersisa pertanyaan, mengapa kita kalah? Apa yang salah? Juga ada terselip pertanyaan, apakah ada trade off dari perjanjian itu?

Kemudian kita tampaknya juga perlu melakukan investasi besar dalam menyiapkan peralatan penerbangan, khususnya navigasi dan pemanduan lalu lintas udara, yang hasil akhirnya adalah keselamatan penerbangan.

Prof. Tirtanugraha N. Mursitama, PhD, menutup paparannya dengan mengatakan bahwa, PR-nya adalah ke dalam. Ini barangkali semacam “cubitan” bagi pemerintah, dalam bernegosiasi dan dalam mengkomunikasikan hasilnya ke publik, agar tidak menimbulkan polemik yang berkepanjangan.

Demikianlah, mudah-mudahan apa yang disampaikan para pakar itu menjadi wacana dalam menyiapkan proses selanjutnya. Dan semoga akan diperoleh sesuatu yang bermanfaat bagi semua.

HL : 15 Februari 2022