
Jarak begitu menentukan. Jarak memberi pengalaman, menunjukkan realita dan meninggalkan kesan yang berbeda-beda. Jarak bisa membuat persepsi dan akibat yang sangat kontradiktif. Beruntunglah yang selalu berada pada jarak yang cukup, sehingga dapat melihat sesuatu dengan lebih bijaksana.
Begitu pula lah yang terjadi. Tatkala Semeru meletus pada hari Senin Legi 4 Desember, sekitar jam 14.30, semburan asap dan materi vulkanik ke atas langit, membentuk pemandangan yang indah. Dan menimbulkan perasaan takjub. Betapa kuatnya tenaga yang mampu melontarkan bebatuan, pasir dan materi vulkanik lainnya, begitu tinggi ke angkasa.
Jarak memang sangat menentukan. Dari jarak yang jauh, meletusnya Gunung Semeru, justru membentuk suatu pemandangan yang sungguh sangat indah. Bagaimana awan vulkanik yang tersembur dari puncak Semeru, kemudian membentuk seperti cendawan raksasa, dengan latar belakang langit biru. Tingginya sekitar 30 ribu meter. Alangkah indahnya! Dan pemandangan itu, membuat merenung, kepada Yang Membuat keindahan itu. Allahu Akbar …

Tetapi dalam jarak dekat, keindahan itu membuat musibah besar. Semburan awan vulkanik menutup pandangan. Gelap! Longsoran lava panas mengalir turun dan menghanguskan apa saja yang dilewatinya. Kemudian dibawa air hujan. Lalu menutupi sungai dan mengubur apa saja yang dilewatinya. Lima hari setelah mengalir ke bawah, pasir yang mengalir itu masih juga mengepulkan asap. Bayangkan betapa panasnya!
Dari jarak dekat, keindahan tidak ada. Itu justru bencana yang sangat mengerikan. Semua yang berada dekat, pada waktu Semeru meletus, pasti sangat ketakutan. Beberapa korban mengatakan bahwa mereka sebenarnya sempat untuk keluar rumah, tetapi tiba-tiba abu vulkanik yang turun begitu cepat menutupi pandangan menjadi gelap. Sekeliling menjadi gelap pekat, seperti pada malam hari tidak dapat melihat apa-apa. Saya membayangkan, betapa paniknya mereka ketika itu. Beruntunglah yang masih selamat.

Dan marilah sejenak kita berdoa untuk almarhumah Rumini (28), dari Desa Curah-Kobokan, Candipuro Lumajang. Dia tidak mau mengungsi sendiri. Rumini tidak tega dan meninggalkan ibunya Salamah (71), yang sudah tua renta dan tidak dapat berjalan. Akhirnya dia ikut menjadi korban. Meninggal bersama ibunya! Bersama mereka, ada 34 orang korban yang meninggal dan 22 orang yang hilang, belum diketemukan.
Tampaknya Allah sedang menunjukkan diri-NYA, dari dua sudut pandang yang berbeda. Dan terserah kita dalam mengapresiasi dan menerima-NYA.
Wallahua’lam bishshawwab …
KPA : 8 Des 2021
GlagahWangi 148 YK