TUMPENG MENOREH
Oleh : Ki Pandan Alas
Sudah lama tidak pernah lagi hiking. Kali ini mengikuti anak-anak, diajak ke Tumpeng Menoreh. Jaraknya sekitar 40 km dari Yogya. Mendaki bukit Menoreh, yang membujur sepanjang utara Kulonprogo. Jadi seperti layaknya perjalanan ke pebukitan, turun, naik dan berkelok-kelok cukup tajam. Situasinya mirip dengan jalanan di Sukoharjo-Weleri, seperti mendaki ke Makam Sunan Muria, mirip di Git-Git Bali, atau di Pusuk Lombok.
Menaiki bukit menuju ke Desa Nglinggo, jalanan sempit berliku dan berbelok-belok. Jadi membayangkan kisah cerita Nagasasra Sabuk Inten-nya SH. Mintareja itu. Barangkali inilah visualisasi dari Tanah Perdikan Banyubiru Ki Ageng Sora Dipayana, kakeknya Arya Salaka. Hehe …
Sampai di pertigaan Nglinggo ada banner besar : Selamat Datang di Wisata Alam Nglinggo Tritis. Kami berbelok ke kanan, menuju ke lokasi Tumpeng Menoreh. Jalanan beraspal sempit, hanya sedikit lebar dari satu mobil. Jika berpapasan dengan mobi lain, salah satu harus menepi dan berhenti dulu.
Kami sampai di pelataran parkir, kebun teh Nglinggo. Ternyata driver kami belum pernah kesini. By feeling saya bilang, lokasinya diatas lagi. Lalu kami naik lagi. Sebetulnya bisa juga jalan kaki ke atas, tetapi nanti kalau mau masuk ke lokasi Tumpeng Menoreh jalannya mendaki dan menurun, jadi cukup jauh juga.
Dan betul juga, di dekat jalan masuk Gardu Pandang dan kebun teh, ada seorang pemandu Tumpeng Menoreh yang standby. Dia menunjukkan jalan masuk yang menurun ke arah Tumpeng Menoreh, tiket masuk Rp. 50 ribu/orang sudah termasuk makan siang. Jalan masuk ke tempat parkir hanya satu mobil. Petugas di atas dan di bawah mengatur pergerakan ke luar masuk mobil, melalui handy talky.
Setelah parkir, kami berjalan ke atas, melalui tangga kayu yang dibuat persis di sisi bukit. Jadi di sisi kirinya tangga, adalah jurang yang dalam. Hati-hati! Jalan kayu itu mengarah ke sebuah bangunan berbentuk segi enam, atau hexagonal bertingkat empat. Jika ingin mendapat foto yang bagus dari bangunan hexagonal yang artistik ini, sebaiknya anda membawa drone untuk memotretnya. Jika tidak bentuknya yang artistik, jadi kurang terlihat jelas.
Bangunan Hexagonal yang dibangun bertingkat empat persis didirikan, di depan sebuah bukit yang berbentuk kerucut, yang bentuknya persis seperti tumpeng. Tingginya sekitar 950 m. Lokasinya terletak di Desa Ngargoretno pebukitan Menoreh yang membujur di sepanjang utara Kulonprogo. Itulah mengapa namanya Tumpeng Menoreh, begitu kata si empunya; seorang musisi yang bernama Erix Soekamti.
Situasinya cukup eksotis. Seperti berada di awan. Di kejauhan beberapa gunung terlihat seperti siluet. Ada sebuah bukit yang terletak cukup dekat. Kami mengelilingi bangunan hexagonal. Lalu naik ke tingkat demi tingkat, memutarinya, sesudah itu naik ke tingkat yang paling tinggi.
Di pelataran paling atas, bentuknya jadi terasa seperti landasan helipad. Bukit yang mirip tumpeng itu, persis ada di belakang kami berdiri. Jadi terasa berdiri paling tinggi, sekelilingnya pandangan lepas ke cakrawala! Wow …
Setelah cukup, kami turun ke tingkat dua. Ada sebuah restoran yang menyediakan berbagai masakan khas Jawa. Masih terasa kenyang, saya tidak makan, nanti saja di Gebleg Pari. Lalu saya pesan kopi panas. Dan menikmatinya sambil duduk di luar. Melihat sekeliling. Dan matahari mulai naik ke tengah, tetapi angin menghembuskan semilir udara dingin.

GEBLEG PARI
Turun dari Tumpeng Menoreh, menuruni bukit Menoreh. Kami menuju ke Nanggulan, ke obyek wisata lainnya, Geblèg Pari. Jaraknya sekitar 20 km. Jalanan berliku dan menurun. Mesti ekstra hati-hati, terutama kalau berpapasan dengan mobil dan kendaraan lain.
Geblèg adalah nama makanan khas Kulonprogo. Terbuat dari pati singkong, atau kanji yang diuleni dan diberi bumbu, dibentuk bulat-bulat seperti cincin. Kemudian digoreng dan dimakan ketika hangat. Kalau sudah dingin, alot. Jadi mesti digoreng dadakan!
Sebetulnya lokasi yang biasa saja. Hanya saja bagi yang tidak pernah tinggal di desa, view-nya tidak biasa, sangat eksotis. Lokasinya berada di tepi hamparan sawah yang luas. Ada lapangan parkir khusus dan sebuah pintu masuk. Di dalamnya ada beberapa Gazebo untuk istirahat dan makan. Di depannya sebuah jalan sempit beraspal. Dan langsung di seberang jalan itu, hamparan sawah yang luas menghijau, dengan latar belakang bukit Menoreh.

Hidangannya masakan khas Jawa, tinggal pesan, nanti diantar. Sayur lodeh, osèng-osèng tèmpé, sayur gudeg, ayam goreng, lélé goreng, tahu-tempe goreng, tahu-tempe bacem, mangut lélé, dan lainnya. Dan bayarnya nanti ketika keluar. Praktis!
Dan di luar di pintu masuk, tersedia deretan sepeda sewa. Tarifnya Rp. 15 ribu. Jika mau, dapat berkeliling desa, melihat hijaunya persawahan dan sedikit mencoba naik bukit. Dijamin semua kejenuhan akan lenyap, dibawa semilir angin pebukitan Menoreh. Refresh beneran. Sungguh smart yang merancang dan membuat place of interest ini.
Saya duduk di bangku di depan meja, persis di tepi jalan. Pandangan lepas ke hamparan sawah yang baru selesai tandur. Dan sepiring pisang goreng tersaji, dengan kopi kental panas. Nyamleng tenan ...
Jadi membayangkan kembali episode cerita Nagasasra Sabuk Inten. Tatkala Ki Pandan Alas sedang mengunjungi cucunya Pandan Wangi, sambil mendendangkan tembang Dandang Gula. Dalam cerita ini, hanya mendengar irama tembang Dandang Gula itu, Lawa Ijo pun ngibrit lari ketakutan …
Lamunan pun buyar. Hidangan makan siang yang sedikit terlambat sudah diantar : mangut lélé, tahu-tèmpé goréng dan oséng-oséng, rasanya kembali seperti anak-anak dulu. Masakan rumahan, seperti masakan ibu dulu.
Sebentar yaa … ini harus diselesaikan dulu deh …
Sekali waktu, rasanya perlu dicoba kesini deh …
KPA, 8 Nov 2021
PTSI Yogya