Thawaf dan Sa’i

l1080306Persiapan Thawaf. Memasuki Masjidil Haram dan menjaga tetap berada dalam kelompok, ternyata cukup sulit. Tetapi kami terus berusaha keras untuk tetap berada dalam satu kelompok.

Masjid penuh sesak. Kami berjalan lambat, sedikit demi sedikit beringsut maju. Identitas yang dipakai, kalung ID hijau muda, tas kecil berwarna hijau, sangat membantu sekali untuk menandai teman dan kelompok sendiri. Setelah berjuang cukup keras, Kabah berada di depan mata kami. Di bagian bawah kiswahnya diangkat keatas, sehingga tampak lapisan putih dibawahnya. Itu untuk menghindari syirik. Banyak jemaah menggunting kiswah untuk dijadikan jimat. Subhanallah …

Inilah pusat dimana jutaan ummat Islam di dunia mengarahkan shalatnya. Jutaan ummat Islam berdoa, berharap dan menabung membumpulkan uang untuk bisa sampai kesini. Saya bersyukur dalam hati, masih diijinkan Allah untuk menjadi tamunya kali ini. Dan diluar perkiraan ternyata jemaah yang melakukan Thawaf penuh sesak sampai ditepi batas paling luar. Kami terus bergerak memasuki pelataran Thawaf. Ketika berada dalam satu garis antara lampu hijau, dan sudut Kabah yang diberi tanda khusus, kami pun memulai Thawaf dengan melambaikan tangan kecarah Kabah dan mengecupnya dari kejauhan.

Perjuangan untuk thawaf pun dimulai. Kami berdesak-desakan semua kelompok saling berusaha untuk tetap berada dalam rombongan. Sebentar kemudian saya sudah terselip diantara ribuan orang yang melalukan Thawaf bersama-sama. Saya terus berusaha menjaga isteri agar terus dalam gandengan tangan dan tidak terlepas. Perilaku masing-masing kelompok dari berbagai bangsa dan negara memang beraneka ragam. Kelompok dari Turki yang sangat dominan. Badan mereka besar-besar, kuat dan tidak kompromi. Jika kelompok mereka lewat seperti buldozer yang akan menggusur apa saja yang menghalanginya. Kami harus menjaga kelompok untuk tetap satu, jika kebetulan diterjang buldozer ini.

Setelah putaran kedua, sudah mulai stabil tetapi semakin ketat dan rapat. Semakin terdorong ke tengah mendekati Kabah. Tetapi juga semakin sulit melangkah, setengah langkah demi setengah langkah dan semakin ketengah. Saya mencoba melihat sekeliling dan berusaha memahami fenomena ini. Putaran Thawaf ini seperti mencerminkan gerakan alam semesta. Barangkali alam semesta ini memang berputar ke arah kiri. Semakin ke tengah semakin perlahan, dan yang ditengahnya diam. Lalu siapakah yang berada di tengah?

Sebenarnya seluruh alam semesta bergerak dan bertasbih dan menyerukan nama Allah. Renungan saya buyar, serombongan jemaah yang sudah selesai Thawaf menerobos keluar memotong putaran Thawaf. Saya buru-buru memegang erat tangan isteri saya agar tidak terlepas, karena akan sukar mencarinya jika campur-baur dalam desakan ribuan orang ini. Untunglah usaha keras kami untuk menjaga kelompok cukup berhasil. Kami terus bergerak langkah demi langkah, berada dalam gulungan ribuan arus manusia. Sambil terus berdoa, saya membiarkan diri larut dalam gerakan ke kiri mengelilingi Kabah.

Semakin lama semakin ketat dan melambat. Apakah ini menjadi isyarat, jika mendekat kepada Allah semakin dekat menjadi semakin lambat, ketat dan sukar! Hanya bagi mereka yang mampu melewati rintangan dan godaan, ikhlas, tawadhu, istiqamah dan menyerahkan kepada ridha-NYA, yang Insha Allah mampu mendekat kepadaNYA.

Menjelang selesai tujuh putaran, kami perlahan-lahan bergerak keluar putaran. Perlu perjuangan berat juga, karena melawan arus yang memasuki ke tengah. Bertahan terus dalam kelompok, saya menjaga benar isteri saya agar tetap dekat dan tidak terlepas. Terus bergerak perlahan keluar dari putaran mengatasi dorongan dan desakan dari kanan kiri.

Kabah Zam Zam Twr

Akhirnya kami mampu keluar dari putaran Thawaf dan menepi di batas luar. Alhamdulillah … betapa lega rasanya mampu menyelesaikan thawaf yang menguras tenaga dan konsentrasi ini. Berdoa dulu sejenak lalu mencari tempat untuk shalat sunnah di belakang Maqam Ibrahim. Ternyata begitu sulit mencari tempat shalat. Semua tempat sudah penuh baik yang akan thawaf, selesai thawaf, juga yang sedang dan mau shalat.

Begitu ada sedikit ada tempat saya shalat disitu. Tempatnya begitu sempit, terpaksa ketika sujud wajah berada diantara kaki-kaki jemaah. Baru saja salam, seorang asykar sudah menyuruh pergi karena dianggap menghalangi lalu lalang jemaah. Setelah berdoa, saya segera bangkit dan mencari teman-teman yang lain untuk melakukan Sa’i.

SA’I
Saya mendongak memandang Zam Zam Tower yang menjulang megah berwarna hijau dengan tepi batasnya kekuningan, jam 12 tengah malam! Di depan saya Kabah berdiri dengan gagah, dikelilingi jamaah yang semakin lama semakin banyak jumlahnya. Muthawif kami, Ustadz Dhofir menghitung ulang jumlah anggota kelompok lalu mengarahkan kami melakukan Sa’i. Ritual berjalan kaki antara bukit Shafa dan Marwah, jaraknya 400 meter dan akan kami dilakukan sebanyak 7 kali pergi-pulang.

Kami berjalan menuju ke Bukit Shafa. Sisa bukit Shafa masih ada, dikurung dengan pembatas kaca transparan. Kami berdoa disini. Di depan kami bukit Marwah sedikit berada dibawah. Diantara dua bukit inilah dahulu Siti Hajar isteri Nabi Ibrahim berlari-lari kebingungan mencari air untuk anaknya Ismail. Atas kebesaran Allah Swt, kaki Ibrahim yang kecil mungil menjejak tanah dan mengalirlah air dari dalam tanah. Siti Hajar pun berseru … zam zam (berkumpullah). Sumber air itu sekarang menjadi Sumur Zam-Zam. Sumur yang tidak pernah surut atau berkurang airnya, walaupun airnya dipompa jutaan liter setiap hari.

Kami memulai Sa’i dengan semangat, walaupun sedikit lelah. Dari Shafa jalur sedikit menurun lalu mendatar. Lantainya terasa dingin. Dibawah lantai marmer ini disemburkan udara dingin, inilah yang membuat lantai terasa dingin. Pada batas yang ditandai dengan lampu hijau sepanjang sekitar 100 meter, kami berlari-lari kecil. Menjelang sampai di Marwah jalur kembali mendaki. Saya membayangkan bagaimana dulu Siti Hajar berjuang mencari air untuk anaknya di bukit-bukit yang pasti gersang dan tandus. Pada awal mulanya, yang ditengah antara dua bukit itu pasti lembah yang tidak datar.

Luar biasa sungguh ibu Siti Hajar. Sampai di bukit Marwah kami berdoa menghadap Kabah. Lalu berjalan kembali menuju Bukit Shafa. Jalurnya bersebelahan, hanya dipisahkan dua jalur ditengah tampaknya khusus untuk jemaah yang menggunakan kursi roda walaupun banyak juga yang berjakan kaki disitu. Di kiri dan kanan jalur tersedia air Zam Zam yang dingin.

Saya berhenti untuk minum. Alangkahnya segarnya. Dulu Siti Hajar pasti sangat bersyukur atas air yang sangat dibutuhkan bagi bayi Ismail ini. Baru saja selesai minum tiba-tiba ada sekelompok perugas yang memaksa kami menepi. Seorang petugas menarik gulungan berwarna merah membatasi jemaah dan mengosongkan lantai. Tadinya saya bertanya mau apa mereka ini? Ternyata mereka adalah petugas pembersih lantai. Mereka bekerja cepat dan efisien. Ada yang membatasi jemaah, mengosongkan lantai yang akan dibersihkan, ada yang menumpahkan cairan pembersih. Dan yang terakhir ada yang membersihkan dengan karet dan kain pel. Mereka terus bergerak dari lokasi satu ke lokasi lainnya. Begitu efektif mereka bekerja, cepat dan bersih. Pantas saja lantai Masjidil Haram selalu bersih dan dingin.

Melewati lampu hijau lagi, kembali kami berlari-lari kecil dan berdoa. Sampai di Bukit Shafa, kami berdoa menghadap ke arah Kabah. Lalu kami kembali ke bukit Marwah. Demikian kami lakukan sebanyak 7 kali. Jam 2 dini hari, kami menyelesaikan Sa’i. Setelah berdoa di Marwah, kami menepi dan keluar untuk melakukan tahallul atau memotong rambut. Ustadz Dhofir memulai memotong rambut beberapa dari kami satu per satu, kemudian berikutnya yang sudah tahallul bergantian memotong rambut. Sampai disini semua rukun umrah selesai dikerjakan.

Kabah Thawaf

Alhamdulillah saya bersyukur dalam hati, akhirnya saya mampu menyelesaikan semua rukunnya dengan tuntas. Semoga Allah Swt meridhai. Amin.
Kami lalu berjalan keluar masjid. Berkumpul di pelataran luar, beristirahat disini sambil menunggu rekan-rekan yang lain.

Jam diatas Zam Zam Tower menunjukkan jam 02.15 dini hari. Tetapi masjid ini masih terus dipenuhi manusia, rasanya tidak ada bedanya antara siang dan malam. Kami duduk-duduk ada yang membaringkan diri memanfaatkan waktu beristirahat. Beberapa saat kemudian setelah kumpul semua, kami berombongan kembali ke bus untuk kembali ke apartemen. Ternyata kemudian ada beberapa orang yang ketinggalan, dan bus kami nomor 3 harus menunggu rekan-rekan kami yang ketinggalan. Setekah satu jam menunggu, mereka belum datang maka diputuskan bus kami kembali ke apartemen. Beberapa muthawif menunggu dan mencari anggota kami yang terpisah tidak tahun kemana.

Jam 03.15 pagi hari Minggu pada saat menjelang subuh, kami baru masuk ke apartemen. Berarti sejak Sabtu sore kami baru sempat tidur sejenak hanya ketika berada diatas pesawat saja. Lelah dan letih. Walaupun begitu syukur Alhamdulillah kepada Allah Swt semuanya dapat berjalan dengan lancar. Sekarang istirahat dulu dan menyiapkan diri untuk menjalankan rukun ibadah haji selanjutnya …