Sabtu 3 Juli 2010, mendekati tengah malam hampir setengah jam sudah kami meninggalkan New Selo. Trek masih berupa tanah yang karena tergerus air, berubah menjadi semacam selokan yang cukup dalam. Kanan dan kiri semak perdu dan beberapa pohon yang cukup tinggi. Lampu senter dan head lamp berkelebat memecah kegelapan malam. Bulan separuh menggantung diufuk timur, ditemani sebuah bintang yang terang. Nafas mulai terengah-engah dan kaki mencari pijakan yang tepat agar dapat menapak dengan efektif.
Ada sedikit rasa sayang, harusnya bisa menikmati pertandingan langsung piala dunia di Afrika Selatan memperebutkan semi final antara Jerman dengan Argentina. Dua tim yang hebat. Penulis pegang Jerman. Apa boleh buat, kali ini kami berjuang setapak demi setapak, menyusuri punggung gunung untuk menggapai puncak Merapi.
Lintang mengeluh sakit perut dan tidak kuat melihat sorot senter yang berkelabat di kegelapan malam. Adella mulai payah dan mulai mengeluh dan minta istirahat. Kami istirahat sebentar di sebuah trek yang agak datar. Angin berembus sepoi menyegarkan tubuh yang basah oleh keringat. Jika saja siang, pemandangan disini pasti sangat indah.
Jam satu lewat tengah malam, kami tiba di Pos I – Selokopo Satu, di ketinggian 2.100 M diatas permukaan laut. Kami berhenti disini, menarik nafas dan istirahat. Di Pos satu ini ada sebuah tanah datar seluas lebih kurang 5X5 meter, di tepi tebing. Kami menggelar matras dan merebahkan diri, istirahat sebentar. Lampu-lampu di Selo berkerlap-kerlip, tampak indah dari ketinggian sini. Adella langsung rebah dan tertidur.
Istirahat tidak boleh lama-lama, karena dapat membuat kita menikmati istirahat dan lupa tujuan semula. Setelah hampir 30 menit, penulis segera bersiap dan mengajak mereka semua untuk terus ke atas. Tetapi Adella menyerah, capek katanya. Ya sudah. Terpaksa Adella, Lintang dan Titiek tinggal di pos I, ditemani Glontor. Penulis dan Akbar terus ke puncak dipandu oleh Prasi.
Kami terus berjalan menyusuri kegelapan malam dan trek yang semakin sulit. Trek berbatu-batu, harus pandai mencari celah dan menempatkan kaki sebelum melangkah. Pohon pun mulai jarang, tinggal perdu dikiri kanan jalan. Prasi bilang, dua setengah jam waktu tempuh ke pos dua, Selokopo Dua. Dengan perlahan tetapi pasti kami berjalan terus.
SELOKOPO DUA
Kami terus berjalan menapaki trek yang semakin sulit. Trek nya cukup berat, tidak ada yang cukup datar untuk sekedar berjalan dengan enak. Suara ketoprak semakin jelas terdengar dari ketinggian sini, memberikan nuansa yang khas. Prasi bilang jaman dulu ketika tidak ada listrik, suara lenguh sapi pun terdengar jelas dari sini. Kami tiba di pos dua, Selokopo Dua. Di trek Merapi, pos hanya disebut sebagai sebuah lokasi tetapi tidak ada fasilitas apapun. Tidak seperti di Gunung Rinjani dimana di hampir setiap pos ada semacam pondok kecil tempat istirahat.
Pos dua ini sebenarnya hanya ditandai dengan tumpukan batu-batu keras. Esok paginya penulis baru tahu bahwa tumpukan batu ini berada disebuah tebing. Jadi trek ini berada dipuncak dinding tebing yang curam. Kami beristirahat sejenak disini. Mengatur nafas, merebahkan diri di bebatuan dan memandang langit. Punggung terasa basah oleh keringat.
Bulan separuh yang tadinya di ufuk timur sudah berada di tengah garis edarnya, diatas kepala. Beberapa pendaki mendahului kami. Anak-anak muda dengan carrier (tas punggung gunung) yang besar dan padat, lewat dengan mudah. Istirahat sebentar dan kami pun melangkah lagi. Akbar mulai terlihat kepayahan, tetapi masih tetap semangat.
GAJAH MUNGKUR
Prasi bilang setelah Selokopo Dua ini treknya relatif mudah. Trek ke puncak yang agak berat. Barangkali ini bonus, sebelum kami menghadapi trek terakhir ke puncak. Dan benar saja sebentar kemudian kami memasuki trek yang datar. Kami dapat berjalan dengan enak, sehingga sedikit menyegarkan dan membuat semangat kembali berkobar untuk segera sampai di puncak.
Sebelum sampai di Gajah Mungkur kami melalui Batu Padasan. Dinamakan begitu karena bentuknya tampak seperti padasan, tempat air wudhu. Gajah Mungkur adalah sekelompok batu atau bebatuan yang berbentuk seperti gajah. Penduduk menamakan begitu karena bentuknya kalau dilihat dari bawah, seperti gajah yang membelakangi kita (mungkur). Di ceruknya yang terlindung sekelompok anak muda mendirikan tenda. Di bagian lain ada anak-anak muda yang beristirahat di lubang bebatuan sehingga mereka terlindung dari terpaan angin yang cukup keras.
PASAR BUBRAH
Jam 3 pagi hari kami sampai di Pasar Bubrah atau Pasar Bubar, 2700 M diatas permukaan laut. Pasar Bubrah adalah sebuah dataran sebelum Puncak Merapi. Batu-batu yang berserakan yang jatuh dari puncak, membentuk seperti sekelompok bangunan pasar yang rusak (bubrah). Konon daerah ini angker.
Beberapa kisah misteri muncul di sini. Pasri sendiri bilang belum pernah melihat dengan mata kepala sendiri ceritera2 tentang ini. Dia hanya pernah ketika bangun pagi hari jam 5 pagi di sini, terdengar suara orang ramai dan riuh seperti berada di sebuah pasar tradisional. Dan Pasri pun segera kabur, angkat kaki menyingkir. Menurut dia mahluk-mahluk ini pada hari-hari tertentu pun pergi ke pasar di Selo untuk berbelanja. Dan para penjual di pasar konon juga dapat mengenali mereka yang bukan benar-benar manusia. Hiii …
Pasri juga berceritera, pernah memandu turis Belanda, dan ketika pulang melewati Pasar Bubrah, bule Belanda itu melihat ada seorang berpakaian Jawa yang naik kuda. Kisah lain ketika sekelompok mahasiswa yang sudah sampai disini, kemudian mendirikan tenda. Salah satu dari mereka masuk tenda dengan membawa pisang. Temannya bertanya, darimana dapet pisang itu? Dan dijawab, tadi beli di warung di depan sana. Warung mana, ini kan di gunung? Haa …? Dan mereka pun segera kabur Yah begitu deh. Believe it or not.
Pasar Bubrah treknya relatif rata ditebari batu-batu. Lumayan juga dapat istirahat dan menarik nafas sejenak. Prasi bilang setelah ini, trek pendakian akan naik tajam menjelang ke puncak.
SEGMEN TREK TERAKHIR
Melewati Pasar Bubrah atau Pasar Bubar, mulai terang tanah. Senter kepala dimatikan, karena cahaya remang-remang sudah cukup menerangi trek yang dilalui. Trek mulai menanjak dengan batu-batu dan bongkahan bebatuan besar menonjol disana-sini. Tidak ada trek khusus ke puncak, semuanya sepertinya sama. Untung ada Prasi kalau tidak, kami tidak tahu mana trek terdekat ke puncak.
Sebentar kemudian ketika situasi mulai terang, penulis menengadah ke atas, puncak Merapi tidak kelihatan dari bawah! Kami seperti berada di bawah dinding batu. Trek berupa bebatuan dengan kemiringan berkisar antara 70-80 derajat. Benar-benar seperti menaiki tangga batu saja. Nafas mulai pendek-pendek dan terengah-engah. Udara yang tipis dan trek yang berat dan terjal, membuat kami hanya dapat bergerak sangat lambat, setiap 7-10 langkah berhenti untuk menarik nafas dan menetralkan jantung yang berdegup sangat keras. Prasi memberi semangat : “Ayo pak, sedikit lagi tinggal 45 menit lagi!”. Dan ketika 45 menit sudah lewat, tetapi kami seakan masih berada disitu-situ juga.
Jam 06.20 kami berhenti sejenak, di ufuk timur arah jam 2 matahari mulai mengintip di cakrawala. Sayang diselimuti awan. Kami memperhatikan proses matahari keluar dari balik cakarawala. Bulatan sang surya perlahan-lahan melewati batas cakrawala. Kalau tidak awan yang menutupi, fenomena ini pasti indah sekali.
Puncak Merapi menjadi terang. Kami memandang berkeliling, batu-batuan yang kering berwarna keputihan seperti bekas terbakar, atau karena terkena asap belerang. Di sebelah kiri puncak Gunung Merbabu, siluetnya menenteramkan hati. Pasar Bubrah tepat dibawah kami dan di sebelah kanannya Gunung Anyar, puncak baru yang terbentuk karena akumulasi kegiatan vulkanologis Merapi. Di beberapa tempat keluar uap belerang. Uap ini menyesakkan nafas dan membuat mental jatuh. Harus segera ke atas untuk menghindari uap belerang ini. Kami bergerak lagi, tepatnya merambat perlahan-lahan.
Menjelang ke puncak, akhirnya kami sampai di Kawah Mati, kawah Merapi yang dulu, dalamnya kurang lebih 200 meter. Di dasar Kawah Mati ditulisi oleh pendaki yang sampai ke sana, dengan menumpukkan batu menjadi tulisan. Dari posisi ini terbaca : RECHTA 19-6-10. Di ujung kawah ada reruntuhan bebatuan berwarna coklat tua. Prasi bilang itu adalah batu “baru” yang terbentuk dari magma yang keluar dari perut bumi dan sudah membeku! Dulu kata dia, dari sini kita masih bisa melihat api Merapi.
Kami beristirahat sejenak. Dari sini tinggal + 20 meter lagi ke puncak. Sebentar lagi! Dari ketinggian sini beberapa pendaki masih berjuang merambat naik ke puncak. Kami bertemu Elly dan Matkins dari Perth-Australia, mereka bekerja di Indonesia semacam government exchange program. Mereka akan ke Kendari setelah ini dan bekerja disana satu bulan.
PUNCAK MERAPI
Minggu 4 Juli 2010 jam 06.45, alhamdulillah akhirnya setelah mengeluarkan tenaga dan memelihara semangat, kami tiba di puncak Gunung Merapi 2.968 meter diatas permukaan laut. Gunung Sindoro dan Sumbing tampak jauh di cakrawala. Gunung Merbabu yang lebih tinggi dari Merapi berada di depan mata. Dua tahun lalu, ada bule yang membawa becak ke atas Merbabu, hanya untuk pengambilan foto-foto.
Beberapa pendaki yang sudah lebih dahulu sampai, tampak sibuk berfoto dan meng-eksplorasi puncak Merapi. Di sebelah kiri kawah baru yang terbentuk, asapnya terus keluar dari bawah kawah.
Puncak Merapi, luasnya kira-kira hanya dua kali lapangan bola volley. Lapangan yang rata ini dikelilingi bebatuan, seperti sebuah baskom. Patung Garuda yang terkenal itu, yang terdiri dari susunan batu yang menyerupai sayap Garuda; sudah tidak ada lagi sejak ada letusan Merapi terbaru.
Penulis mengucap syukur dalam hati, Maha Besar Allah Swt yang menciptakan keindahan yang tiada tara. Merapi hanya sebagian sangat amat kecil dari kebesaran Allah Swt. Dengan menyaksikan langsung fenomena ini, terasa sungguh alangkah kecilnya kita disini. Kita bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Subhanallah … Maha Besar Allah dengan segala ciptaanNYA …
Berada di puncak dan penulis merenung, membayangkan bagaimana gunung ini meletus tanggal 22 November 1994 yang lalu, Letusan itu telah mengambil korban 64 orang meninggal. Mereka tidak cepat bereaksi atas peringatan sirene atau karena memang mereka lebih suka tetap tinggal dirumahnya dari pada mengungsi.
Wedhus Gembel yang terdiri dari campuran bebatuan, uap belerang yang beracun dan benda-benda-benda lainnya, menyembur keluar dari puncak sini, turun menyelimuti desa-desa. Penduduk terperangkap dan menjadi korban. Hanya saja menurut Prasi, Wedhus Gembel tidak pernah mengarah ke Selo. Dan Selo selalu aman dari keganasan Wedhus Gembel, entah mengapa.
Merapi memang menggiriskan, mengandung misteri dan sekaligus mempesona hati. Penulis tidak berlama-lama di puncak. Setelah mengambil beberapa foto dan gambar video, kami pun turun. Perjalanan turun perlu konsentrasi ekstra. Menuruni batuan yang terjal, harus ekstra hati-hati. Salah sedikit Pasar Bubrah dibawah sana siap menerima tubuh kita.
Bismillah …
Mantap pak petualangannya..Sukses selalu pak!
Baru kali ini saya membaca kisah pendakian yang beranggotakan keluarga, termasuk sang bidadari mungil Adela… Sebuah perwujudan dari slogan Ki Hajar Dewantoro, tim pendakian yang layak diacungi jempol. Dilanjutkan dengan penuangan ke dalam tulisan dengan alur yang mengalir jernih membuat pembaca terhanyut… Sukses pak Heru.
sungguh agung ciptaan tuhan ” ALLAH SWT” bila kita renungi dg hati yg paling dalam tidak seberapa manusia dihadapanNYA