Gunung Merapi adalah salah satu gunung berapi yang paling aktif di Indonesia dan memiliki ikatan emosional dan spiritual yang kuat dengan penduduk di sekelilingnya. Merapi yang berarti “Gunung Api” memiliki kebiasaan aktif dan meletus skala kecil dalam kurun waktu 2-3 tahun dan untuk letusan besar terjadi dalam kurun waktu 10-15 tahun.
Gunung Merapi berlokasi di Jawa Tengah, + 75 km di utara Yogyakarta, menjulang tinggi 2.968 M diatas permukaan laut bersama saudara kembarnya Gunung Merbabu yang sedikit lebih tinggi. Merapi menjadi salah satu dari 4 tempat, dimana raja-raja Surakarta dan Yogyakarta melakukan persembahan sekali dalam setahun. Banyak orang percaya bahwa letusan Gunung Merapi disebabkan oleh karena si penunggu gunung marah karena tidak menerima persembahan yang cukup atau karena perilaku penduduk yang kurang baik disekitarnya.
Gunung yang menyimpan berbagai macam misteri, ditambah sosok fenomenal Mbah Maridjan yang tetap bersikukuh tidak mau meninggalkan Merapi yang pada waktu itu diprediksi akan meletus, menjadkan Merapi semakin menarik untuk didaki dan dikunjungi. Penulis sudah lama penasaran dan ingin mengenal lebih dekat Gunung Merapi, maka mulailah perburuan mencari informasi lebih akurat tentang Merapi. Beruntung rekan penulis Antok karyawan PK-PPK di Bandara Adisutjipto, menunjukkan saudara sepupunya yang bernama Prasi yang sudah berpengalaman naik-gunung Merapi, untuk menjadi pemandu.
Ketika penulis menghubungi Prasi, dia menjelaskan dengan enteng kalau naik dari New Selo jam 1 malam, maka sesudah subuh akan sampai di puncak Merapi. Mendengar kata-kata dan intonasi suara Prasi, sepertinya naik ke Merapi tidak begitu sulit. Pasti tidak begitu, hanya saja Prasi memang jago meyakinkan calon pelanggannya.
Pagi hari itu Sabtu 3 Juli 2010, Hari itu pas sedang ada Muktamar Muhammadiyah di Yogyakarta. Puluhan bahkan mungkin ratusan bus masuk Yogya dari mana-mana. Yogya macet berat. Bukan hanya jalan protokol, jalan-jalan kecil pun dipenuhi bus di kiri-kanan jalan. Puluhan ojek dengan jaket hijau bertuliskan “Ojek Muktamar Muhammadiyah”, berseliweran di jalan-jalan. Sebuah perhelatan masal dan merakyat sedang berlangsung di Yogya.
Penulis dari Yogya bersama keluarga nyetir sendiri menuju ke Selo melalui Muntilan. Kali ini mencoba naik ke puncak Merapi, gunung berapi yang paling aktif, sangat diwaspadai dan fenomenal di Indonesia. Selo adalah awal pendakian ke puncak Merapi, selain melalui Kaliurang. Selo menjadi pilihan penulis, karena konon relatif lebih mudah dibandingkan jika melalui Kaliurang. Hanya saja kalau lewat Selo, nggak bisa ketemu Mbah Maridjan yang terkenal itu. Apa boleh buat.
KETEP PASS
Sampai di Muntilan kami menuju ke Ketep lebih dahulu. Ketep adalah sebuah lokasi wisata, mirip Puncak Pass. Berada di ketinggian dan terletak di antara gunung Merapi dan Merbabu,. Kami mampir sebentar. Untuk melengkapi gambaran mengenai Merapi, kami menyempatkan nonton video The Life of Merapi, film dokumenter mengenai aktivitas Gunung Merapi. Film dokumenter itu masih menampilkan Puncak Garuda, rangkaian batuan di puncak Merapi yang membentuk seperti burung Garuda. Sekarang Patung Garuda itu sudah tidak ada lagi. Terimakasih kepada BMG yang telah membuat film dokumenter itu, sehingga kami tahu dan punya gambaran yang lebih jelas tentang Merapi dan bagaimana trek pendakiannya.
Setelah menikmati makan siang di restoran, kami duduk sebentar dan memperhatikan Gunung Merapi dan Merbabu. Ada yang menawarkan teropong dengan sewa Rp. 3 ribu sebuah. Ketep Pass sedang diliputi kabut, sehingga Gunung Merapi dan Merbabu tidak begitu jelas terlihat.
Di sebuah pojok pondok, seorang bapak tua menjajakan seruling dengan menyanyikan lagu dengan lincah dan merdu. Kami perhatikan dari tadi tidak ada yang membeli, jadilah kami membeli 2 buah seruling harganya Rp. 5 ribu satu buah. Jam 2 siang kami meninggalkan Ketep menuju ke Selo. Penulis menghubungi Prasi, dan dia sudah siap menunggu kami disana.
SELO
Selo kira-kira 30 km dari Magelang. Kota kecil ini menjadi lokasi wisata, dan menjadi awal pendakian Gunung Merapi. Tetapi tampaknya pemerintah daerah masih kurang memberi perhatian kepada kota kecil yang sejuk dan menyimpan potensi wisata ini. Sebelum masuk Selo ada sebuah gapura dengan tulisan melengkung diatasnya : Kawasan Obyek Wisata Selo. Di balik tulisan itu, Gunung Merapi tampak menjulang tinggi.
Penulis sudah janjian bertemu dengan Prasi pemandu yang sudah berpengalaman naik-turun Gunung Merapi. Beberapa kali penulis berhenti di pinggir jalan untuk mengambil gambar Merapi. Dari kejauhan gunung ini tampak biasa, puncaknya kelihatan berwarna abu-abu keputihan, seperti bekas terbakar.
Memasuki Selo yang tenteram dan nyaman, beberapa pendaki tampak sibuk di sebuah kantor, kelihatannya sedang mempersiapkan diri. Dari arah Muntilan di sebuah pertigaan ada petunjuk tempat pendakian Merapi. Kami belok kanan dan jalan lurus jalan lurus sejauh + 2 km, dan sampailah kami di New Selo.
NEW SELO
New Selo, sebuah tempat di ketinggian kurang lebih 1.500 M adalah lokasi awal pendakian Merapi. Beberapa warung berderet di depan sebuah lapangan parkir yang kira-kira dapat menampung 10 buah mobil. Diatas warung-warung itu ada tulisan New Selo yang besar sekali, tingginya + 5 meter. Tulisan ini kelihatan jelas dari kejauhan. Dari sini Gunung Merbabu tampak menjulang di depan mata.
Prasi datang menggunakan motor, kami pun bertemu dan membahas rencana pendakian kami. Prasi siap mengantar jam 11.00 malam nanti. Masih beberapa jam lagi dan masih sempat untuk istirahat dan menyimpan tenaga. Prasi mengantar kami ke Selo Pass, sebuah motel yang cukup bagus di Selo. Dari jendela kamar 04 Selo Pass, puncak Merapi sedikit tertutup awan. Di kakinya tulisan New Selo tampak jelas, lokasinya kira-kira ditengah-tengah antara kaki gunung dan puncak. Merapi tunggulah sebentar lagi kami akan datang.
Sore hari gerimis. Gawat nih mudah-mudah tidak terus terusan. Syukurlah jam 9 malam gerimis berhenti dan bintang mulai kelihatan di langit. Kami segera bersiap, dan jam 10.30 malam Prasi menjemput, dan kami pun berangkat.
MENGAWALI PENDAKIAN
Jam 11.20 malam hari kami semua pun bersiap, jaket penahan dingin, kaus tangan, senter, syal, baju hangat sudah siap dikenakan. Beberapa rombongan pendaki juga sudah menyiapkan diri berada di New Selo ini. Kami ber 5 : penulis, Akbar, Titiek, Lintang, Adella, ditemani Prasi dan Suparno yang dipanggil “Glontor”. Penulis minta Prasi bawa tenda, dengan perhitungan kalau 3 orang cewek tidak kuat akan tinggal di tenda dan yang laki-laki akan terus naik ke puncak. Malam cukup gelap. Setelah berdoa bersama, kami pun mulai melangkah. Bismillah …
Beberapa jalan kami melangkah, mulai menjalani trek yang tidak mudah. Bulan yang hanya setengah, berada di timur ditemani sebuah bintang yang terang. Lampu-lampu Selo tampak bekeredip di kejauhan di bawah sana. Suasana hening, kelam, memberi suasana sendiri.
Kunang-kunang berterbangan, semula penulis kira itu adalah lampu senter dari pendaki di kejauhan. Ternyata di kegelapan malam yang pekat, sinar dari ekor kunang-kunang cukup memberi perasaan tenang.
Sabtu malam Minggu, tampaknya ada acara ketoprak di desa Jrakah sebelah Selo, suara pertunjukan itu terdengar jelas dari atas ketinggian ini. Membuat suasana semakin ngelangut, barangkali mirip seperti suasana tanah Perdikan Banyubiru yang dipimpin Ki Ageng Gajah Sora dalam ceritera “Nagasasra & Sabuk Inten” karangan SH. Mintardja yang terkenal itu …
Dari ketinggian sini diantara suasana yang hening dan sepi, alunan tembang Jawa dari ketoprak di bawah sana membuat suasana sangat melankolis dan nuansa spiritual berhembus sangat kental.
waduh jadi pengen kembali kesana,…dl waktu kuliah setiap tahun saya naik merbabu atau merapi via Selo….Klo pak heru kesana lagi ikutan bareng ya pak…
BTW bapak tinggal di Bali?….saya juga tinggal d Bali loh pak, … tapi asli keturunan Klaten tetangga nya Selo,….salam kenal yah pak..
Kapan kapan kesini dah..
Sewa Mobil Jogja