Tambora terletak di Pulau Sumbawa. Dahulu kala gunung ini berdiri menjulang 4.000 M diatas muka laut. Sejarah mencatat pada 10 April 1815, setelah tidur selama lebih dari 5.000 tahun; Tambora meletus! Letusan terdahyat yang pernah tercatat dalam sejarah, hampir 8X letusan Krakatau yang terkenal itu. Ketika meletus Tambora melontarkan 150 Km3 bahan-bahan vulkanik sejauh 40 km ke angkasa. Letusannya terdengar sampai jarak 130 km. dan menyebabkan kematian lebih dari 10.000 orang. Barangkali dari sinilah kemudian muncul nama Tambora (bahasa Bima Tam=orang Mbora=hilang). Begitu hebat letusannya, sehingga tahun itu menjadi tahun tanpa musim panas di belahan lain di bumi ini.
Letusan gunung diukur dengan Volcano Explosivity Index (VEI). Dalam skala 1-8, Tambora memiliki VEI 7. Di dunia ini hanya ada 4 gunung dalam 10.000 tahun terakhir yang memiliki VEI yang sangat tinggi, yaitu Krakatau, Pinatubo, Vesuvius dan Sint Helena. Tambora merupakan satu-satunya gunung yang tercatat dalam sejarah memiliki VEI 7! Setelah letusan berakhir, tercipta kaldera raksasa dengan lebar lebih dari 7 km dan kedalaman 1.5 km! Konon ini adalah kaldera terbesar di dunia.
Untuk mencapai puncak Tambora, ada 3 trek, yaitu trek Pancasila yang melalui sisi barat, trek Kawinda To’i dari sisi timur, dan trek selatan dekat Dorocanga. Trek selatan ini relatif paling sulit dibandingkan dengan 2 trek lainnya. Dan ternyata kami memilih trek selatan yang berat dan penuh tantangan ini.
Hari Rabu 14 Mei 2008, setelah melakukan doa bersama; kami meninggalkan Bandara Selaparang dengan 3 buah kijang dan 1 buah pick up barang. Awalnya semua lancar dan aman. Gangguan kecil terjadi ketika ban depan salah satu mobil Kijang kami kempes. Setelah beres kami melanjutkan perjalanan. Melalui radio komunikasi kami mendapat informasi dari rekan-rekan ORARI bahwa di Dompu sedang langka BBM, dan mobil-mobil Landrover yang akan mengantarkan kami pada trek awal Tambora, terancam tidak mendapat BBM.
Wah, gimana nih! Terpaksa kami berhenti sebentar, membeli 4 buah jerigen untuk cadangan BBM di pom bensin. Alhamdulillah, pada pom bensin Pertamina di dekat Labuhan Lombok kami masih mendapat cadangan 4 buah jerigen bensin. Berikutnya perjalanan berjalan dengan baik. Jam 9 malam kami menyeberang dari Labuhan Lombok dan makan malam diatas ferry. Banyak diantara anggota tim ekspedisi ini yang belum sempat ke Sumbawa. Jadi, sebenarnya sayang ketika kami menyelusuri pantai utara Sumbawa pada waktu malam, karena tidak banyak yang dapat dilihat. Sepanjang jalan kami di monitor oleh rekan-rekan ORARI. Salah satunya YC9IX yang selalu mengikuti perjalanan kami. Beliau bahkan menawarkan agar mampir untuk sekedar beristrirahat dan minum kopi. Asyik, pucuk dicinta, ulam tiba!
SUMBAWA BESAR
Jadilah, pada Kamis, 15 Mei 2008 jam 1 tengah malam, kami berhenti sejenak di Sumbawa di rumah Ketua PPI Bpk. Shalahuddin MA beliau anggota ORARI dengan call sign YC9IX. Lumayanlah sekedar meluruskan punggung dan melepaskan lelah. Apalagi disuguhi kopi panas. Sungguh terasa menyegarkan pada tengah malam hari. Setelah cukup, kami berangkat kembali. Terimakasih kepada Pak Yudha (panggilan P. Shalahuddin MA) yang telah membantu tim ini. Oh ya, beliau bahkan menyediakan 2 jerigen bensin, untuk tambahan. Perjalanan diteruskan. Di Plampang, dipinggir jalan banyak kambing yang berkeliaran. Yang menarik di leher kambing-kambing itu digantungi sepotong kayu dengan panjang + 40cm, maksudnya agar kambing-kambing itu tidak dapat memasuki kebun untuk memakan tanaman didalamnya. Kreatif juga.
Jam 5.45 pagi hari kami sampai di pertigaan Manggalewa. Setelah shalat Subuh yang sedikit agak terlambat di Masjid Nurul Askar, kami minum kopi di pinggir jalan. Di tugu tengah jalan tertulis Nggahi Rawi Pahu. Semboyan Dompu. Nggahi = ngomong Rawi = kerja Pahu = rupa/bentuk. Kira-kira berarti bahwa setiap berbicara harus ada bentuknya yang nyata! Jangan omdo, omong doang, kata orang Jakarta. Menurut pemiliknya, harusnya warung itu sudah ditutup jam 6 pagi, tetapi karena kedatangan kami maka beberapa gelas kopi harus tetap dihidangkan. Terimakasih kepada ibu pemilik warung. Sayang penulis lupa menanyakan namanya. Setelah istirahat sejenak, kami harus menunggu 3 mobil landrover dari Dompu yang akan mengantarkan kami ke Tambora. Tetapi untuk menghemat waktu, kami memutuskan untuk jalan duluan, agar lebih dapat menikmati perjalanan rute perjalanan Manggalewa – Doropeti melalui Kempo ini.
PINTU MASUK TAMBORA
Jam 10.30 kami tiba di Pos I. Pos masuk ke Kawasan Konservasi Alam Tambora, kira2 10 km sebelum Doropeti. Kami membawa masuk mobil Kijang & pick up barang kami ke lokasi + 5 km dari pintu masuk Pos I. Mobil kami parkir di bawah pohon besar. Mobil Kijang dan pick up terpaksa harus diparkir disitu, karena tidak mampu lagi menempuh trek yang mulai berat. setelah posisi ini, kami harus menggunakan mobil 4 wheel drive untuk menempuh trek yang berat.
Dan, … bergantilah kami dengan 3 buah landrover!. Jika melihat bentuknya mobil-mobil itu tidak layak disebut mobil, tetapi kemampuannya dalam melalui dan menaklukkan medan berat sungguh luar biasa. Pak Nanang, Sadam dan Maman adalah driver-driver offroader kami yang berpengalaman mengendalikan mobil2 itu.
Pada segmen trek ini kami seakan-akan berada di savana di Afrika yang sering kita lihat di TV pada tayangan National Geographic. Tanjakan tajam, lembah dan jalanan tanah bergelombang, membuat kami terus menerus terguncang-guncang! Sungguh sangat sulit untuk mencari waktu agar kamera tetap steady untuk mengambil gambar. Kami sungguh menikmati trek awal ini. Setiap kali mobil melewati tanjakan dan belokan tajam, atau keluar dari jalanan dan masuk ke semak-semak, kami berteriak-teriak memberi semangat kepada Pak Nanang, orang Jawa yang sudah puluhan tahun tinggal di Dompu. Seru dan heboh banget!. Beberapa kali 2 mobil yang lain mengalami kesulitan teknis. Pak Nanang menjadi penyelamat mondar-mandir membetulkan kesulitan teknis yang dialami mobil lainnya.
Satu jam diperlu-kan untuk jarak 12 km menuju ke Pos II. Kami berhenti sebentar untuk mengambil foto dan meluruskan kaki yang cukup tegang menahan tubuh agar tetap bisa tegak berdiri. Masih 7 km lagi menuju ke Pos 3. Pos terakhir dimana kami akan mendirikan tenda dan menginap.
Pak Nanang membetulkan beberapa peralatan mobilnya. Dia berceritera bahwa trek yang kita lalui sebenarnya dulu pada tahun 1999 merupakan trek pemburu rusa. Pak Nanang salah satu pionir yang membuat jalur tsb. Dia malah mengatakan bahwa seluruh kawasan Tambora sebenarnya bisa dilalui dengan kendaraannya. Dia menawarkan untuk sekali waktu melakukan safari di kawasan Tambora, 2 hari 2 malam! Sungguh tawaran yang menantang bagi yang ingin mencobanya. Setelah cukup istifrahat kami meneruskan perjalanan ke Pos 3. Pada segmen terakhir trek ini, kira-kira 3 km dari Pos 3, salah satu mobil benar-benar tidak dapat meneruskan tugasnya. Pak Nanang pun kembali untuk mengevakuasi muatan dan penumpang-nya. Dan 2-3 orang peserta mencoba berjalan kaki. Katanya, aklimatisasi untuk perjalanan ke puncak. Dan, setelah berjalan mereka baru mulai berfikir keras, bisa enggak ya nanti mendaki ke puncak ? Kok baru jalan di trek yang agak naik ini saja, jalannya terasa sudah begitu berat!
POS III – 1.836 M DIATAS PERMUKAAN LAUT
Dua jam kemudian, jam 01.30 siang kami sampai di Pos 3.Pos terakhir di ketinggian 1.836 M dpl. Camp site. Kami mendirikan tenda, 11 buah semuanya. Rekan kami dari ORARI sibuk mendirikan antenna radio. Kemudian mengudara dan bergabung dalam Nusantara Net pada freq 705.50 Khz untuk memberitakan posisi tim ini ke se antero Indonesia. Tim ekspedisi Tambora telah berada di Pos 3 pada ketinggian 1.836 M dan siap untuk tahap akhir, menyentuh puncak Tambora! Apakah dapat dicopy gitu, ganti!
Jam 5 sore, Sadam salah satu driver offroader kami yang keturunan Arab, bermaksud mencari air. Penulis ikut. Perjalanan untuk mencari air memerlukan usaha yang tidak mudah. Mata air ini terletak di dasar lembah yang cukup curam, dibawah rindangnya pepohonan. Bentuk mata air ini hanyalah sebuah kubangan kecil. Dan untuk mengambilnya harus diciduk dengan perlahan-lahan. Dengan potongan botol aqua perlahan-lahan pak Maman mengambil air dan measukkannya ke dalam jerigen. Penulis mencoba minum. Sungguh sangat segar rasanya. Airnya melebihi aqua yang dingin. Menurut Sadam hanya ada beberapa mata air di kawasan Tambora ini. Salah satunya, ya mata air ini.
Konon mata air ini dulu ditemukan oleh Pak Teko yang sudah almarhum. Pak Teko adalah seorang pemburu binatang yang tinggal bertahun-tahun di lembah Tambora ini. Secara berkala ada orang yang melakukan barter dengan Pak Teko ini Dengan menunggang kuda mereka menukarkan daging buruan pak Teko dengan beras, gula, kopi, rokok dan keperluan sehari-hari. Penulis sungguh tidak dapat membayangkan, bagaimana Pak Teko dapat hidup di tengah padang yang sangat sunyi dan terpencil ini. Barangkali itu sudah jadi pilihan hidup Pak Teko.
Malam di Pos 3. Bulan separuh menggantung di langit, dikelilingi bintang gemnitang. Angin bertiup sepoi dan siluet pepohonan pinus di kejauhan memberikan nuansa tersendiri. Setelah makan malam, kami membagi kelompok dan menentukan yang akan kami lakukan pada proses pendakian akhir esok hari. Jam 10 malam kami masuk tenda. Mengenakan jaket tebal dan menarik sleeping bag bersiap tidur. Jaket dan sleeping bag ternyata tidak sanggup menahan udara dingin yang menyelusup dan membuat tubuh menggigil. Tangan yang sudah dibungkus dengan sarung tangan tebal pun terasa kebas. Tidur sulu, simpan tenaga.
Salam kenal Pak Heru….saya Haidar dari BAKOSURTANAL (Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional). Rencananya pada bulan juli besok kami akan melakukan kegiatan Ekspedisi Geografi Indonesia di NTB dan salah satu objek yang ingin kami datangai adalah Tambora. Apakah bapak bisa share tentang detail perjalanan dan rute2 alternatif pendakian…dan jika memungkingkan kami ingin mengetahui kontak person untuk nyewa landrover (Pak Nanang) dan pemandu dari KSDA Dompu… Terima kasih