KEINDAHAN BALI TIMUR

Puri Karang Asem

Bali begitu mempesona dunia. Semua orang berusaha untuk datang dan menikmati keindahannya. Nama-nama seperti Kuta, Sanur, Ubud, Bedugul, Kintamani, Tanah Lot, Uluwatu, begitu familiar sampai ke manca negara. Walaupun begitu, orang tidak banyak tahu bahwa Bali masih banyak menyimpan keindahan yang belum di kenal. Salah satunya Bali bagian timur.

Penulis cukup beruntung, diundang oleh Bpk. Anak Agung Jelantik yang masih terhitung keturunan Raja Karangasem untuk bersama-sama merayakan Siwaratri. Salah satu hari bersejarah bagi masyarakat Hindu Bali. Hari dimana Lubdaka suatu ketika harus menginap di hutan. Dia terpaksa harus memanjat pohon, agar tidak dimakan binatang buas. Untuk mempertahankan agar dia tidak tertidur dan jatuh dari pohon, maka dia membaca beberapa lontar karya sastra yang mengandung nilai spiritual yang tinggi.

AA Susila Jelantik

Jadilah, hari Sabtu 24 Januari 2009 penulis diterima Bpk. Anak Agung Jelantik di Taman Ujung Karangasem. Taman air yang indah ini dibangun oleh Raja Karangasem pada tahun 1629. Luasnya 8 Ha. Sudah direnovasi, dan menelan biaya + Rp. 10 Milyar.

Malam itu Bpk. Jelantik mengundang beberapa ahli tembang Bali untuk membacakan lontar tulisan Raja Karangasem terakhir Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem, dan penterjemahnya. Penulis kagum kepada anak muda yang membaca lontar dengan tembang Durma (sayang penulis tidak menanyakan namanya), dan diterjemahkan oleh ahlinya yang sudah berumur. Beberapa kali Bpk. A.A. Jelantik menjelaskan arti dari tembang tsb. Yang paling prinsip adalah bahwa kita berasal dari tidak ada, menjadi ada, dan akan kembali menjadi tidak ada lagi. Sungguh suatu filosofi yang tinggi. Setelah pembacaan selesai, malam itu penulis menginap di Taman Ujung. Di salah satu ruangan yang diperuntukkan bagi tamu raja. Wah, jadi merasa spesial banget dah.

Yang cukup istimewa, kami sempat diajak menyaksikan Tari Cak versi Karangasem. Bpk. Anak Agung Jelantik mengatakan sedang berusaha menggalang dan membentuk grup Tari Cak yang akan ditampilkan secara periodik. Usaha ini mudah2an akan menarik semakin banyak wisatawan ke Karangasem. Selain melihat Taman Ujung, Taman Tirta Gangga dan Puri Karangasem, wisatawan akan memiliki atraksi lain yang cukup menarik untuk disaksikan.

PURI KARANGASEM

Kolam Air Puri Krasem

Esok paginya kami diundang mampir ke Puri Karangasem. Kami memohon ijin untuk dapat melihat-lihat bekas istana Kerajaan Karangasem yang sekarang sudah menjadi museum. Gung Gek -isteri Bpk. A.A. Jelantik- berkenan mengantarkan kami melihat-lihat ke dalam istana.

Bekas istana Karangasem masih meninggalkan kemegahan di masa silamnya. Istana raja bentuknya cukup sederhana. Di depan ada sebuah beranda dengan satu pintu ditengah, dan 2 jendela besar di kanan kirinya. Di dalamnya ada 4 buah kamar yang berhadap-hadapan simetris. Di dindingnya tergantung foto Mangkunegara ke 8 yang konon beliau mengangkat saudara dengan Raja Karangasem ke 6.

Beberapa bangunan sudah rusak, dan memerlukan biaya pemeliharaan yang tidak sedikit. Yang pasti, taman air berada tepat di depan istana yang berwarna kuning. Ditengah-tengahnya kolam air, berdiri sebuah bangunan yang berfungsi sebagai tempat musyawarah tentang apa saja.

Pintu gerbang masuknya masih berkesan megah dan cukup terawat dengan baik. Keasrian lingkungan istana masih tersisa, pohon besar dan rindang memberikan kesejukan dan mengeluarkan suasana tenteram dan agung. Secara keseluruhan beberapa bangunan seyogyanya dapat diperbaiki dan direhabilitasi agar tidak semakin rusak.

Rasanya pemerintah harus turun tangan untuk menyelamatkan warisan budaya yang adiluhung ini.

MENYUSURI PANTAI TIMUR

Taman Ujung

Jam 9 pagi setelah diantar melihat-lihat istana, kami pamitan. Bpk. Anak Agung Jelantik beserta Gung Gek mengantar sampai tepi jalan. Setelah mengisi bensin penuh, kami berangkat menyusuri pantai timur Bali. Bismillah …

Desa pertama adalah Seraya. Seraya terkenal karena memiliki 2 buah bukit tempat pura yang terkenal, Lempuyang. Yang satu Lempuyang Luhur, satunya lagi di tempat yang lebih tinggi bernama Lempuyang Belibis atau Bis Bis. Kebetulan penulis sudah pernah mendaki sampai ke puncak kedua bukit tsb. Lempuyang Luhur relatif mudah dicapai karena tersedia tangga beton menuju puncaknya. Tetapi tidak mudah mendaki Lempuyang Belibis. Jalan dan medannya sungguh berat. Untuk mencapai puncaknya yang hanya + 1.400an meter, memerlukan nafas, semangat dan kesabaran tersendiri.

Menyusuri Bali Timur, mirip di Lombok bagian barat. Jalan berada di tebing tinggi dan laut nampak jauh di bawah. Beberapa kampung nelayan nampak di bawah dengan kapal yang dicat berwarna warni. Nampak eksotis dari ketinggian. Ada sebuah bale bengong di ketinggian, penulis berhenti sejenak. Dan dibawah sana nampak sebuah pulau kecil Gili Selang. Didekatnya desa nelayan, Batumanak. Disebelah kirinya hanya terpisah beberapa ratus meter, desa Kusambi.

BANYUNING

Restoran Wawa-Wewe

Beberapa menit setelah meninggalkan Kusambi pada sebuah tanjakan tajam dan menikung, tiba-tiba muncul pemandangan yang menakjubkan. Penulis berhenti sejenak. Turun dan mengambil gambar. Sungguh keindahan yang eksotis. Di belakang sebelah kiri ada sebuah restoran yang namanya unik Wawa Wewe. Penulis berhenti sejenak. Ingin menikmati keindahan ini lebih lama lagi. Jadilah, mampir ke restoran yang lokasinya fantastik ini. Ternyata restoran ini milik pribumi. Wawa Wewe, kata Wayan si pramu saji artinya “tidak jadi-jadi”. Boleh juga. Nama yang spesifik dan kreatif.

Dibawah sana desa nelayan, Banyuning. Pantainya bukan pasir tetapi berbatu kecil-kecil. Lautnya sungguh jernih. Dari atas tebing nampak batu-batu di dasar lautnya. Barangkali karena itulah desa ini disebut Banyuning, air bening. Ada seorang yang melakukan snorkeling. Sebuah kapal nelayan mengikuti dibelakangnya. Penulis memesan kopi dan mie kuah. Sedap rasanya menikmati panasnya kopi Bali, dengan pandangan ke laut lepas, selat Lombok. Jarak ke Lombok tidak terlalu jauh. Dan, tiba-tiba saja penulis membayangkan bagaimana dulu Raja Karangasem menyerang dan menguasai Lombok. Barangkali angkatan lautnya sedikit demi sedikit menguasai desa-desa kecil semacam ini, baru kemudian angkatan yang lebih besar datang memperkuat armada; sebelum akhirnya membuat persiapan penyerangan.

Ketika asyik memperhatikan laut, tiba seekor ikan lumba-lumba “terbang” keatas permukaan air! Di belakangnya, sekelompok ikan lumba-lumba berlompatan keluar dari permukaan laut. Sekelompok lumba-lumba puluhan jumlahnya melompat-lompat dan menuju ke utara. Beberapa nelayan mengatakan jika ada sekelompok ikan lumba-lumba, berarti cuaca akan segera berubah. Nelayan menggunakan kehadiran ikan lumba-lumba, sebagai pertanda akan ada pergantian cuaca.

Pantai Batukeseni

Ketika melintas di desa Batukeseni, kami turun dari mobil dan masuk ke air laut. Airnya tidak jernih, tidak seperti di Banyuning. Deretan kapal nelayan nampak berjejer di sepanjang pantai. Ada sebuah kapal bernama Sunrais, barangkali maunya sun rise. Hanya salah tulis saja, atau barangkali itu memang nama orang.

AMED

Yang paling terkenal di Bali Timur barangkali adalah Amed. Desa ini menjadi lokasi snorkeling dan diving yang begitu terkenal. Banyak hotel dan penginapan bertebaran di kiri kanan jalan. Dan lokasi-lokasi untuk melakukan olahraga laut. Banyak bule berjalan kaki maupun naik sepeda motor berseliweran di jalan. Di pinggir jalan beberapa iklan menawarkan latihan untuk meditasi. Amed nampaknya menjadi desa yang banyak dikunjungi turis mana negara, sekilas kesibukannya mirip dengan Kuta.

jauuhhh di timur Bali

Segmen terakhir dari Bali Timur adalah Culik, Tulamben dan Kubu. Jalan propinsi dengan lalu lintas yang relatif sepi. Beraspal hotmix. Mulus. Memasuki Tejakula, jalan sedikit menyempit dan aspalnya tidak begitu bagus. Lalu lintas mulai menjadi padat. Satu kilometer menjelang Kubu Tambahan penulis berbelok ke kiri, mengambil rute ke Kintamani.

Berhenti sebentar di Kintamani menikmati keindahan danau Batur. Sambil menunggu pesanan kopi, keindahan ciptaan Allah Swt tergelar di depan mata. Di sebelah kiri Gunung Batur dan di sebelah kanan Gunung Agung. Di kejauhan nampak sayup-sayup desa Trunyan yang terkenal itu. Yang mengagetkan di sebelah kiri penulis, ada sebuah tebing yang longsor. Dari atas tampak tanah longsorannya menimpa sebuah pura di kaki bukit, sampai hampir mengubur pura tersebut. Menyedihkan sekali. Setelah berhenti sejenak, dan menghabiskan kopi yang dan pancake pisang penulis meneruskan perjalanan pulang melalui Bangli dan Gianyar.

Akhirnya, setelah menempuh jarak 345 KM dan pegang stir sendiri, Alhamdulillah penulis sampai di rumah dengan selamat.

Perjalanan menyusuri Bali Timur merupakan tantangan tersendiri. Ternyata masih banyak daerah Bali yang belum dieksploitasi sepenuhnya. Faktor jarak dan infrastruktur menjadi kendala yang menjadikan daerah ini tidak terjamah atau jarang dikunjungi. Diperlukan usaha yang lebih terpadu untuk menjadikan Bali Timur menjadi daerah tujuan wisata.

Mudah2an pemerintah memberikan perhatiannya untuk lebih mengembangkan wilayah timur Bali dan juga memelihara aset budaya adiluhung, Istana Raja Karangasem …

herulegowo@yahoo.com