KAWAH IJEN

Kawah Ijen

Kamis 9 April 2009 adalah hari bersejarah karena seluruh warga Indonesia memberikan suaranya untuk memilih wakil-wakilnya di pemerintahan. Ya pemilihan model baru, dengan cara mencontrengi! Kebetulan hari Jumat berikutnya adalah hari libur nasional. Jadi ada 4 hari libur yang berurutan. Kami akan melakukan pendakian ke kawah Ijen di Bondowoso, Jawa Timur. Sebuah kawah yang terkenal, selain keindahannya dan juga merupakan lokasi penambangan belerang.

Jarak Denpasar ke Banyuwangi + 150 km. Cuaca pagi yang cerah membuat semangat menyala. Kawah Ijen, kami akan datang!  Beberapa orang teman kami berombongan akan berangkat esok paginya. Jadi kami mendahului. Kami akan melihat Taman Nasional Alas Purwo di selatan Muncar, dan ke pantai Trianggulasi, lokasi pengamatan bulan; untuk menentukan mulainya bulan puasa.

MENGINAP DI PALTUDING

Jumat 10 April 2009 menjelang jam 4 sore rombongan bergabung di perempatan lampu merah Jln. HOS Cokroaminoto Banyuwangi.  5 mobil semuanya. Beberapa rekan mengusulkan untuk menginap di Banyuwangi baru esok paginya ke Kawah Ijen. Penulis berpendapat lain, kami harus sampai di pos terakhir Paltuding sore ini, agar besok punya waktu yang cukup untuk naik ke puncak Kawah Ijen.

Horeee lepas dari tanjakan tajam – 10 km menjelang Paltuding

Di desa Taman Sari kami berhenti sebentar membeli air mineral untuk persiapan minum dan kue kecil. Dan kemudian masalah dimulai … 10 km menjelang pos Paltuding, beberapa bagian jalan rusak. Aspal terkelupas dan banyak batu kecil yang lepas, membuat ban selip karena tidak dapat menapak jalan dengan baik. Halangan dan cobaan pertama datang. Salah satu mobil kami tidak dapat melalui bagian jalan ini pada tanjakan tinggi dan kondisi jalan yang rusak. Terpaksa beberapa rekan yang memiliki badan subur, harus duduk di atas kap mesin sebagai balancing agar ban mobil dapat menapak dengan baik.

Akhirnya setelah melalui 3 segmen jalan dan sport jantung menyaksikan mobil yang selip bannya, kami lepas dari situasi yang menegangkan dan mendebarkan ini.

Jam 18.15 menjelang Maghrib, 7 km dari setelah jalan rusak tadi kami semua tiba dengan selamat di pos terakhir pendakian. Paltuding 1.850 meter diatas permukaan laut. 35 km dari Banyuwangi. Dari sini puncak kawah Ijen yang tingginya 2386 m tinggal 3 km lagi. Artinya, hanya untuk naik setinggi 536 m, harus menempuh jarak melingkar sejauh 3 km. Dan waktu tempuh menurut yang ada di papan petunjuk 2 jam.

Pos terakhir Paltuding

Penulis mencoba mencari tahu arti nama Paltuding, tapi nggak seorang pun dapat menjelaskan. Mungkin saja artinya adalah Pal = tanda, Tuding = menunjuk. Jadi tempat untuk menunjukkan arah ke puncak. Barangkali! Kemudian kami mencari penginapan dan memperoleh rumah penginapan yang sangat sederhana. Jadilah kami semua 30 orang bersiap untuk menginap di Paltuding. Cuaca masih belum begitu dingin, kira-kira  seperti di Puncak – Bogor. Kami berfoto bersama sebentar. Kemudian, Gunawan Lubis dan Dimyati sibuk menghubungi pengelola penginapan untuk mengatur rombongan menginap. Beberapa rekan fotografer kami sibuk memotret Gunung Ranti yang berada di depan mata, dan sudah menjadi siluet. Ketika gelap mereka mencoba mempraktekkan light photography, hasilnya ternyata keren juga.

Sebentar kemudian, embun mulai turun dan perlahan-lahan dingin mulai menyelimuti Paltuding. Dan pelan-pelan kami bergeser, memakai jaket dan mencari tempat yang lebih hangat. Beberapa rekan nampak nongkrong di kantin Pak Im panggilan Pak Ali Imron yang berasal dari Bondowoso dan sekaligus berprofesi sebagai penunjuk jalan ke puncak. Dia sibuk membantu kami dan menawarkan bantuan.

Malam hari, bulan masih bundar setelah purnama. Dingin mulai terasa menggigit tulang. Jaket tebal yang melindung 2 kaos didalamnya tidak cukup kuat menahan dinginnya udara. Di kantin Pak Im kami ngobrol dan menyiapkan rencana esok hari. Kopi dan jahe panas terasa sangat nikmat sekali. Untunglah Pak Im tetap sabar melayani kami menyiapkan kopi, membuat mie rebus dan makanan kecil lainnyha. Jam 11 malam, kami bersiap untuk tidur. Harus cukup istirahat dan menyimpan tenaga, untuk persiapan pendakian esok hari.

MENUJU PUNCAK

The first light

Jam 3 pagi hari, dingin yang menggigit tulang membuat penulis terbangun dan tidak bisa tidur lagi. Jam 4 pagi kami harus bersiap untuk naik, berusaha untuk dapat mengejar waktu terbitnya matahari. Sambil menunggu waktu penulis ke kantin, ternyata beberapa teman-teman sudah disana menghangatkan badan sambil ngopi dan pesan mie telur rebus. Dan setelah semuanya bersiap kami berangkat naik ke puncak.

Hari masih gelap. Lampu senter kami berkelebat ke kiri dan kanan menerangi jalan tanah yang cukup rata. Beberapa buruh angkut nampak pergi bersama kami. Malah beberapa sudah ada yang turun dari atas membawa bongkahan belerang. Ketika penulis tanya jam berapa mereka naik, mereka menjawab : “Jam 12“. Gila bener, tengah malam mereka sudah naik?

Perlahan-lahan kami merambat naik. Barangkali itu yang tepat. Bukan berjalan, tetapi merambat! Sudut jalan yang naik membuat kami harus hati-hati mengatur langkah, agar ritme langkah teratur dan tidak cepat lelah.

Trek di HM25 menuju puncak

Sebentar kemudian sinar matahari mulai menyentuh punggung Gunung Ranti di belakang kami. Di ketinggian seperti ini, nampak sekali bagian yang sudah tersentuh sinar matahari dan yang belum. Jalanan mulai menanjak dan memakan tenaga. Pal kilometer kearah puncak menggunakan satuan HM (hektometer) dan angka yang menunjukkan jarak.  Jalan ke puncak mirip cukup bagus. Terbuat dari tanah yang keras dengan beberapa kerikil lepas. Mirip  dengan jalan ke Gunung Kelimutu di Flores.

Di beberapa tempat ada pikulan belerang yang ditinggal buruh angkut. Barangkali akan diangkut dengan cara estafet. Penulis mencoba mengangkat pikulan belerang tsb. Ternyata berat sekali. Bergerak pun tidak. Para buruh tambang itu mengangkut belerang rata-rata seberat 80 kg, sekali jalan. Mereka rata-rata dapat mengangkut 2 kali  se hari. Harganya hanya Rp. 600.- per kg. Anda dapat bayangkan, pendapatan mereka rata-rata hanya Rp. 50 ribu per hari. Itu pun setelah perjuangan melalui medan yang riskan dan berat.

PONDOK BUNDER

Pondok Bunder

Jam 07.00 pagi, setelah hampir satu jam berjalan kami sampai di HM 20. Di Pondok Bunder, di ketinggian 2.114 meter diatas permukaan laut. Gedung ini dinamakan sesuai bentuk bangunannya yang bundar. Konon dulunya digunakan sebagai stasiun pengamat cuaca. Kami berhenti sebentar disini. Minum air mineral, menarik nafas dan meluruskan kaki yang mulai terasa pegal.

Di depan pondok bunder ada gudang penimbangan belerang PT. Candi Ngrimbi. Beberapa buruh angkut tampak beristirahat di depannya. Penulis sempat berfoto bersama para buruh angkut yang sedang beristirahat. Salah satunya pak Paiman, yang sudah setengah baya. Dia sedang menyelesaikan angkutan yang ke dua. Sementara yang lain ada yang baru saja naik ke atas.

 

Puncak Ijen 2.380 mdpl. Di sebelah kanannya kawah Ijen dan sumber tambang belerang

PUNCAK

Posisi HM30, puncak sudah tinggal beberapa meter lagi. Di sebelah kiri, dikejauhan sana Gunung Ranti mulai terlihat terang terkena sinar matahari. Di sebelah kanan, matahari mulai merayap naik mengintip dibalik Gunung Ijen. Kamera pun mengarah ke posisi yang spektakuler ini. Beberapa rekan sibuk mengabadikan momen ketika matahari memancarkan semburat sinarnya, melintasi puncak Gunung Ijen.

Setelah berjalan hampir 2,5 jam satu per satu dari kami tiba di puncak kawah Ijen. Alhamdulillah. Asap atau lebih tepat asap belerang menutupi seluruh permukaan kawah. Kami perlu menunggu bebrapa saat sebelum akhirnya angin bertiup dan menyingkirkan uap ke sebelah kiri.

Keindahan Puncak Ijen

Dan … muncullah sebuah pemandangan  begitu indah. Perpaduan hijaunya danau di bawah kawah, dinding kawah yang terjal dan menonjolkan lekuk-lekuknya yang tampak kokoh dan longsoran yang terkena air hujan. Di sebelah kiri uap belerang yang berhembus keras dari dalam perut bumi, keliatan tebal dan didasarnya berwarna kekuningan.

TURUN KE DANAU KAWAH IJEN

Setelah beberapa saat menikmati Kawah Ijen dari puncak. Penulis tertarik dua pilihan : menyelusuri bagian dinding gunung yang tinggi di sebelah kiri kawah atau turun ke danau yang berwarna hijau di bawah sana. Dua pilihan yang menantang dan menaikkan adrenalin! Akhirnya penulis memilih turun ke danau. Dari atas, para buruh angkut belerang hanya seperti boneka yang kecil-kecil. Di sebelah kiri uap belerang berhembus keluar dari perut bumi, menutupi pandangan. Agak ke kanan sedikit permukaan danau nampak hijau, mirip dengan warna danau hijau di Kelimutu Flores.

Jadilah, penulis turun pelan-pelan ke bawah. Jalanan turun berupa batu-batu gunung yang diatur untuk memudahkan buruh angkut menapakkan kakinya. Di beberapa tempat hanya tanah berpasir, jadi harus hati-hati agar tidak tergelincir. Jalan setapak menurun sangat curam. Beberapa kali penulis harus berhenti untuk memberi jalan buruh angkut belerang lewat. Yang naik dan yang turun. Ternyata turun pun tidak mudah. Kita harus berhati-hati.

Florian dari Jerman

Beberapa orang bule ikut turun ke bawah. Mereka dari Perancis, Spanyol, Kanada, Belanda, Thailand, Singapura dan Jerman. Ternyata bukan hanya di pantai Kuta saja bule-bule berkeliaran, di puncak dan Kawah Ijen pun banyak bule dari berbagai bangsa.

Penulis sempat berhenti di 1/3 akhir menuju ke danau. Memperhatikan situasi. Di sebelah kiri asap eh uap belerang nampak tebal dan berhembus keluar dengan kuat dari perut bumi. Sedikit di sebelah kanan, hijaunya danau kawah nampak indah. Penulis mengukur kekuatan untuk turun dan memperhitungkan kemungkinan arah angin bertiup. Karena jika uap belerang yang tebal menerpa, sudah pasti akan kesulitan bernafas dan bisa keracunan. Ketika sedang termangu memperhitungkan situasi ini, benar saja … tiba2 angin bertiup kearah penulis membawa uap belerang.

Nafas menjadi sesak, dan buru-buru menutup hidung agar tak terlalu banyak menghirup uap belerang. Para buruh angkut dibawah berteriak agar segera cepat turun ke bawah. Dengan tergopoh-gopoh penulis turun. Jalanan yang sulit, tenaga yang sudah berkurang dan uap belerang membuat langkah penulis tersendat-sendat.

Di atas danau dasar Kawah Ijen

Akhirnya, dengan nafas terengah-engah penulis tiba di bawah. Dan tepat di tepi danau Kawah Ijen! Ketika menyentuh airnya, terasa hangat dan keruh. Berdiri tepat di depan danau memberi rasa yang sulit dikatakan. Luar biasa. Ketika mendongak ke atas, di tepi puncak  beberapa orang yang berdiri di tepinya hanya nampak bayangannya saja. Sebesar jari kelingking! Sejenak kami menikmati keindahan danau. Merenungi kebesaran Allah Swt yang menciptakan keindahan dan memberi kehidupan banyak buruh pengangkut belerang dan keluarganya.

Alhamdulillah walau dengan sedikit susah payah, penulis akhirnya sampai juga di tempat ini. Di tepi danau penulis bertemu Florian dari Berlin yang sedang melakukan perjalanan dari Bali ke Jakarta, dan mampir di kawah Ijen sini. Kami berfoto sebentar, bertukar email dan berjanji akan saling kirim foto hasil jepretan masing-masing kamera kami. Tempat yang indah sekaligus sulit dicapai. Hanya  7 orang dari rombongan kami yang berhasil sampai di sini. Sebenarnya kami tidak rela untuk segera meninggalkan tempat ini, tetapi hembusan asap belerang cukup menakutkan. Jadi kami harus segera cabut lagi.

Para pekerja tambang belerang

Menjelang naik kembali ke atas, penulis bertemu dengan Pak Muhammad Santoso supervisor tambang PT. Candi Ngrimbi. Beberapa stafnya sudah bekerja puluhan tahun di tambang ini. Pak Santoso yang tinggal di Banyuwangi berceritera bahwa ada 50-an karyawan tetap PT. Candi Ngrimbi. Sedangkan para buruh angkut  semuanya + 300 orang.

Rasanya hanya sebentar penulis menikmati situasi di tepi danau yang spektakuler ini. Ketika melihat ke sebelah kiri uap belerang yang berhembus kuat dari perut bumi nampak indah sekaligus memberi perasaan alangkah kecilnya kita di tempat yang terpencil seperti ini. Angin kemudian bertiup dengan kuat dan membuat uap belerang melingkupi hampir seluruh kawah. Bahaya neh, waktunya untuk segera kembali ke atas.

NAIK KEMBALI KE PUNCAK

Dan benar saja dalam sekejap uang belerang bergerak, berputar-putar dan melingkupi dasar kawah Ijen. Penulis bergegas naik ke atas dan membuang keinginan untuk melihat dari dekat tempat uap belerang ke luar dari perut bumi. Naik keatas perlu tenaga yang lebih besar daripada ketika turun. Yang lebih dramatis, kita harus berlomba dengan hembusan angin yang membawa uap belerang.

Penambang belerang berjuang demi Rp. 600.- / kg

Menjelang 1/3 ke atas nafas mulai terengah-engah, butuh oksigen yang lebih banyak. Tetapi alih-alih mendapat oksigen yang fresh, yang dihirup bukannya udara segar, tetapi justru uap belerang. Dada menjadi sesak. Dan dengan sedikit panik, penulis mencoba melangkah dengan lebih cepat. Tetapi para buruh angkut nampak biasa-biasa saja. Berjalan di dinding tebing yang curam dengan puluhan kilogram belerang dipundaknya. Demikian juga rekan penulis, Florian nampak santai saja.  Dia memakai masker seperti yang dipakai tentara kalau menyemprotkan gas airmata. Jadi dia lebih santai dan dapat memperhatikan pemandangan sekeliling dengan lebih cermat.

Beberapa orang turis asing berjalan di depan penulis. Dari bahasanya mereka dari Perancis. Sesekali berhenti mengambil foto kawah dari setiap ketinggian dan kadang kadang memotret para buruh tambang. Para buruh tambang ini berjalan dengan pasti dan wajah hampir tanpa ekspresi. Rekan penulis pak Darma, berada sedikit di belakang penulis. Pasti dia lebih berat lagi daripada penulis. Uap tebal belerang berputar memenuhi lembah. Menambah susah bernafas. Penulis memaksa mempercepat langkah dengan nafas yang mulai sesak.

Trek Terjal dan Curam

Akhirnya sampai juga di puncak kembali. Sejenak penulis menengok ke bawah, melihat trek naik yang baru dilewati. Danau di bawah tampak hanya remang-remang tertutup uap belerang yang memenuhi lembah. Melihat terrain dan dindingnya yang curam, hampir tidak percaya, ternyata baru saja penulis dari bawah sana. Luar biasa!

herulegowo@yahoo.com